Wisata Hati Hendra Disini mengenai tentang Sejarah dimana karate di ciptakan atau ada. Wisatahati hendra tentang hobby dari hendra tersebut dia suka tentang Beladiri ,yaitu Karate. Karate Diciptakan didaerah Onkinawa Jepang Sebuah pulau di negara Jepang. Beladiri itu Fungsinya untuk untuk melindungi diri dari sesuatu yang tidak diinginkan. maka diciptakanlah seni-Beladiri itu Bernama Karate yaitu Kara = Kosong , te = tangan. Jadi Karate adalah Olahraga/Beladiri tangan Kosong.
Laman
Selasa, 23 November 2010
Istilah Kata Karate
Posted in Uncategorized on Januari 4, 2010 by amurakediri
# TAIKYOKU (KIHON) : Penyebab pertama
# HEIAN(PINAN) : Jalan damai (Kadang-kadang diterjemahkan sebagai, pikiran tenang, damai)
# TEKKI : Kuda besi (Langkah dalam/bertumpu ke tanah) (NAIHANCHI/NAIFANCHI)
# BASSAI Penyerangan (badai) a fortress (dalam versi -dai (mayor/besar) dan -sho (minor/kecil)
# KANKU (KUSHANKU) : Memandang cakrawala (dlm -versi dai (mayor/besar) dan -sho (minor/kecil)
# HANGETSU(SEISAN): Setengah rembulan (tiga belas)
# GANKAKU (CHINTO): Bangau di atas karang
# EMPI/ENPI (WANSU): Burung layang-layang
# JION: Nama setelah kuil
# JITTE: Sepuluh tangan
# NIJUSHIHO: 24 langkah/teknik
# JI’IN: Dinamai setelah suci
# MEIKYO (ROHAI): Cermin jiwa/Cermin Bersih
# SOCHIN: Damai
# CHINTE: Tangan luarbiasa
# WANKAN (OKAN): Mahkota raja
# UNSU: Tangan berawan
# GOJUSHIHO: 54 langkah/tehnik (dlm versi -dai (mayor) and -sho (minor)
Pengetahuan Singkat Karate
Pertandingan karate dibagi atas dua jenis yaitu :
1. Kumite (perkelahian) putera dan puteri
2. Kata (jurus) putera dan puteri
[sunting] Kumite
Kumite dibagi atas kumite perorangan dengan pembagian kelas berdasarkan berat badan dan kumite beregu tanpa pembagian kelas berat badan (khusus untuk putera). Sistem pertandingan yang dipakai adalah reperchance (WUKO) atau babak kesempatan kembali kepada atlet yang pernah dikalahkan oleh sang juara. Pertandingan dilakukan dalam satu babak (2-3 menit bersih) dan 1 babak perpanjangan kalau terjadi seri, kecuali dalam pertandingan beregu tidak ada waktu perpanjangan. Dan jika masih pada babak perpanjangan masih mengalami nilai seri, maka akan diadakan pemilihan karateka yang paling ofensif dan agresif sebagai pemenang.
[sunting] Kata
Pada pertandingan kata yang diperagakan adalah keindahan gerak dari jurus, baik untuk putera maupun puteri. Sesuai dengan Kata pilihan atau Kata wajib dalam peraturan pertandingan.
Para peserta harus memperagakan Kata wajib. Bila lulus, peserta akan mengikuti babak selanjutnya dan dapat memperagakan Kata pilihan.
Pertandingan dibagi menjadi dua jenis: Kata perorangan dan Kata beregu. Kata beregu dilakukan oleh 3 orang. Setelah melakukan peragaan Kata , para peserta diharuskan memperagakan aplikasi dari Kata (bunkai). Kata beregu dinilai lebih prestisius karena lebih indah dan lebih susah untuk dilatih.
Menurut standar JKF dan WKF, yang diakui sebagai Kata Wajib adalah hanya 8 Kata yang berasal dari perguruan 4 Besar JKF, yaitu Shotokan, Wado-ryu, Goju-ryu and Shito-ryu, dengan perincian sebagai berikut:
* Shotokan : Kankudai dan Jion.
* Wado-ryu : Seishan dan Chinto.
* Goju-ryu : Saifa dan Seipai.
* Shito-ryu: Seienchin dan Bassaidai.
Karateka dari aliran selain 4 besar tidak dilarang untuk ikut pertandingan Kata JKF dan WKF, hanya saja mereka harus memainkan Kata sebagaimana dimainkan oleh perguruan 4 besar di atas.
[sunting] Luas lapangan
* Lantai seluas 8 x 8 meter, beralas papan atau matras di atas panggung dengan ketinggian 1 meter dan ditambah daerah pengaman berukuran 2 meter pada tiap sisi.
* Arena pertandingan harus rata dan terhindar dari kemungkinan menimbulkan bahaya.
Pada Kumite Shiai yang biasa digunakan oleh FORKI yang mengacu peraturan dari WKF, idealnya adalah menggunakan matras dengan lebar 10 x 10 meter. Matras tersebut dibagi kedalam tiga warna yaitu putih, merah dan biru. Matras yang paling luar adalah batas jogai dimana karate-ka yang sedang bertanding tidak boleh menyentuh batas tersebut atau akan dikenakan pelanggaran. Batas yang kedua lebih dalam dari batas jogai adalah batas peringatan, sehingga karate-ka yang sedang bertanding dapat memprediksi ruang arena dia bertanding. Sisa ruang lingkup matras yang paling dalam dan paling banyak dengan warna putih adalah arena bertanding efektif.
[sunting] Peralatan dalam pertandingan karate
Peralatan yang diperlukan dalam pertandingan karate
1. Pakaian karate (karategi) untuk kontestan
2. Pelindung tangan
3. Pelindung tulang kering
4. Ikat pinggang (Obi) untuk kedua kontestan berwarna merah/aka dan biru/ao
5. Alat-alat lain yang diperbolehkan tapi bukan menjadi keharusan adalah:
* Pelindung gusi (di beberapa pertandingan menjadi keharusan)
* Pelindung tubuh untuk kontestan putri
* Pelindung selangkangan untuk kontestan putera
6. Peluit untuk arbitrator/alat tulis
7. Seragam wasit/juri
* Baju putih
* Celana abu-abu
* Dasi merah
* Sepatu karet hitam tanpa sol
8. Papan nilai
9. Administrasi pertandingan
10. Lampu merah, hijau, kuning sebagai tanda waktu pertandingan dengan pencatat waktu (stop watch).
Tambahan: Khusus untuk Kyokushin, pelindung yang dipakai hanyalah pelindugn selangkangan untuk kontestan putra. Sedangkan pelindung yang lain tidak diperkenankan.
[sunting] Falsafah Karate
Rakka (Bunga yang berguguran)
Ia adalah konsep bela diri atau pertahanan di dalam karate. Ia bermaksud setiap teknik pertahanan itu perlu dilakukan dengan bertenaga dan mantap agar dengan menggunakan satu teknik pun sudah cukup untuk membela diri sehingga diumpamakan jika teknik itu dilakukan ke atas pokok, maka semua bunga dari pokok tersebut akan jatuh berguguran. Contohnya jika ada orang menyerang dengan menumbuk muka, si pengamal karate boleh menggunakan teknik menangkis atas. Sekiranya tangkisan atas itu cukup kuat dan mantap, ia boleh mematahkan tangan yang menumbuk itu. Dengan itu tidak perlu lagi membuat serangan susulan pun sudah cukup untuk membela diri.
Mizu No Kokoro (Minda itu seperti air)
Konsep ini bermaksud bahwa untuk tujuan bela diri, minda (pikiran) perlulah dijaga dan dilatih agar selalu tenang. Apabila minda tenang, maka mudah untuk pengamal bela diri untuk mengelak atau menangkis serangan. Minda itu seumpama air di danau. Bila bulan mengambang, kita akan dapat melihat bayangan bulan dengan terang di danau yang tenang. Sekiranya dilontar batu kecil ke danautersebut, bayangan bulan di danau itu akan kabur.
[sunting] Aliran Karate
Seperti telah disinggung diatas, ada banyak aliran Karate di Jepang, dan sebagian dari aliran-aliran tersebut sudah masuk ke Indonesia.
Adapun ciri khas dan latar belakang dari berbagai aliran Karate yang termasuk dalam "4 besar JKF" adalah sebagai berikut:
[sunting] Shotokan
Shoto adalah nama pena Gichin Funakoshi, Kan dapat diartikan sebagai gedung/bangunan - sehingga shotokan dapat diterjemahkan sebagai Perguruan Funakoshi. Gichin Funakoshi merupakan pelopor yang membawa ilmu karate dari Okinawa ke Jepang. Aliran Shotokan merupakan akumulasi dan standardisasi dari berbagai perguruan karate di Okinawa yang pernah dipelajari oleh Funakoshi. Berpegang pada konsep Ichigeki Hissatsu, yaitu satu gerakan dapat membunuh lawan. Shotokan menggunakan kuda-kuda yang rendah serta pukulan dan tangkisan yang keras. Gerakan Shotokan cenderung linear/frontal, sehingga praktisi Shotokan berani langsung beradu pukulan dan tangkisan dengan lawan.
[sunting] Goju-ryu
Goju memiliki arti keras-lembut. Aliran ini memadukan teknik keras dan teknik lembut, dan merupakan salah satu perguruan karate tradisional di Okinawa yang memiliki sejarah yang panjang. Dengan meningkatnya popularitas Karate di Jepang (setelah masuknya Shotokan ke Jepang), aliran Goju ini dibawa ke Jepang oleh Chojun Miyagi. Miyagi memperbarui banyak teknik-teknik aliran ini menjadi aliran Goju-ryu yang sekarang, sehingga banyak orang yang menganggap Chojun Miyagi sebagai pendiri Goju-ryu. Berpegang pada konsep bahwa "dalam pertarungan yang sesungguhnya, kita harus bisa menerima dan membalas pukulan". Sehinga Goju-ryu menekankan pada latihan SANCHIN atau pernapasan dasar, agar para praktisinya dapat memberikan pukulan yang dahsyat dan menerima pukulan dari lawan tanpa terluka. Goju-ryu menggunakan tangkisan yang bersifat circular serta senang melakukan pertarungan jarak rapat.
[sunting] Shito-ryu
Aliran Shito-ryu terkenal dengan keahlian bermain KATA, terbukti dari banyaknya KATA yang diajarkan di aliran Shito-ryu, yaitu ada 30 sampai 40 KATA, lebih banyak dari aliran lain. Namun yang tercatat di soke/di Jepang ada 111 kata beserta bunkainya. Sebagai perbandingan, Shotokan memiliki 25, Wado memiliki 17, Goju memiliki 12 KATA. Dalam pertarungan, ahli Karate Shito-ryu dapat menyesuaikan diri dengan kondisi, mereka bisa bertarung seperti Shotokan secara frontal, maupun dengan jarak rapat seperti Goju.
[sunting] Wado-ryu
Wado-ryu adalah aliran Karate yang unik karena berakar pada seni beladiri Shindo Yoshin-ryu Jujutsu, sebuah aliran beladiri Jepang yang memiliki teknik kuncian persendian dan lemparan. Sehingga Wado-ryu selain mengajarkan teknik Karate juga mengajarkan teknik kuncian persendian dan lemparan/bantingan Jujutsu. DIdalam pertarungan, ahli Wado-ryu menggunakan prinsip Jujutsu yaitu tidak mau mengadu tenaga secara frontal, lebih banyak menggunakan tangkisan yang bersifat mengalir (bukan tangkisan keras), dan kadang-kadang menggunakan teknik Jujutsu seperti bantingan dan sapuan kaki untuk menjatuhkan lawan. Akan tetapi, dalam pertandingan FORKI dan JKF, para praktisi Wado-ryu juga mampu menyesuaikan diri dengan peraturan yang ada dan bertanding tanpa menggunakan jurus-jurus Jujutsu tersebut.
Sedangkan aliran Karate lain yang besar walaupun tidak termasuk dalam "4 besar JKF" antara lain adalah:
[sunting] Kyokushin
Kyokushin tidak termasuk dalam 4 besar Japan Karatedo Federation. Akan tetapi, aliran ini sangat terkenal baik didalam maupun diluar Jepang, serta turut berjasa mempopulerkan Karate di seluruh dunia, terutama pada tahun 1970an. Aliran ini didirikan oleh Sosai Masutatsu Oyama. Nama Kyokushin mempunyai arti kebenaran tertinggi. Aliran ini menganut sistem Budo Karate, dimana praktisi-praktisinya dituntut untuk berani melakukan full-contact kumite, yakni tanpa pelindung, untuk mendalami arti yang sebenarnya dari seni bela diri karate serta melatih jiwa/semangat keprajuritan (budo), aliran ini juga sering dikenal sebagai salah satu aliran karate paling keras. Aliran ini menerapkan hyakunin kumite (kumite 100 orang) sebagai ujian tertinggi, dimana karateka diuji melakukan 100 kumite berturut-turut tanpa kalah. Sosai Oyama sendiri telah melakukan kumite 300 orang. Adalah umum bagi praktisi aliran ini untuk melakukan 5-10 kumite berturut-turut.
[sunting] Shorin-ryu
Aliran ini adalah aliran Karate yang asli berasal dari Okinawa. Didirikan oleh Shoshin Nagamine yang didasarkan pada ajaran Yasutsune Anko Itosu, seorang guru Karate abad ke 19 yang juga adalah guru dari Gichin Funakoshi, pendiri Shotokan Karate. Dapat dimaklumi bahwa gerakan Shorin-ryu banyak persamaannya dengan Shotokan. Perbedaan yang mencolok adalah bahwa Shorin-ryu juga mengajarkan bermacam-macam senjata, seperti Nunchaku, Kama dan Rokushaku Bo.
[sunting] Uechi-ryu
Aliran ini adalah aliran Karate yang paling banyak menerima pengaruh dari beladiri China, karena pencipta aliran ini, Kanbun Uechi, belajar beladiri langsung di provinsi Fujian di China. Oleh karena itu, gerakan dari aliran Uechi-ryu Karate sangat mirip dengan Kungfu aliran Fujian, terutama aliran Baihequan (Bangau Putih).
Macam Teknik Karate

Tehnik dalam beladiri Karate
dalam beladiri karate dikenal beberapa macam tehnik, secara umum di dalam beladiri karate macam tehnik tersebut dibedakan menjadi 3 macam:
1. Kihon
Kihon dalam istilah karate berarti dasar atau fondasi, jadi seorang karateka harus pertama menguasai kihon dengan baik sebelum dia mempelajari Kata dan Kumite.
2. Kata
Arti Kata dalam beladiri karate yaitu bentuk atau pola.arti Kata dalam karate tidak hanya merupakan suatu bentuk latihan fisik atau aerobik biasa.akan tetapi mengandung pelajaran tentang prinsip cara bertarung. Setiap Kata memiliki ritme gerakan dan pernapasan yang berbeda-beda.
3. Kumite
Kumite dapat diartikan sebagai "pertemuan Tangan". biasa diajarkan pada murid-murid usia lanjut atau pada murid yang sudah menyandang sabuk biru keatas. akan tetapi sekarang sudah banyak dojo-dojo yang sudah mengajarkan kumite pada murid yang masih pemula, seperti pada murid2 yang baru sabuk kuning sudah mulai diajarkan. Sebelum melakukan kumite bebas (jiyu Kumite) praktisi mempelajari kumite yang diatur (go hon kumite) atau (yakusoku kumite). Untuk kumite aliran olahraga, lebih dikenal dengan Kumite Shiai atau Kumite Pertandingan
artikel lainnya silakan klik dibawah ini:
1. macam-macam tendangan taekwondo
2. macam-macam video kejuaraan taekwondo
3. macam-macam video demonstrasi taekwondo
4. Video Tae-geuk/poomsae koryo-jitae
Kamis, 21 Oktober 2010
Sumpah Karate
Sumpah Karate Ada Lima Yaitu :
1) Sanggup Memelihara Kepribadian
2) Sanggup Patuh Pada Kejujuran
3) Sanggup Mempertinggi Prestasi
4) Sanggup Menjaga Sopan Santun
5) Sanggup Menguasai Diri
Sumpah Karate Baru:
SUMPAH KARATE
1. Sanggup Menyempurnakan Kepribadian
2. Sanggup Patuh Pada Jalan Yang Benar
3. Sanggup Meningkatkan Daya Juang
4. Sanggup Menjaga Sopan Santun
5. Sanggup Mengendalikan Diri
Dalam Bahasa Jepangnya:
SUMPAH KARATE
1. SANGGUP MEMELIHARA KEPRIBADIAN
Jinkaku kansei ni tsutomuju koto
2. SANGGUP PATUH PADA KEJUJURAN
Makoto no michi o mamoju koto
3. SANGGUP MEMPERTINGGI PRESTASI
Doryoku no seishin o yoshinau koto
4. SANGGUP MENJAGA SOPAN SANTUN
Reigi o omonzuju koto
5. SANGGUP MENGUASAI DIRI
Kekki no you o imashimuju koto
Arti Dari Sumpah Tersebut Adalah :
a) Sanggup Memelihara Kepribadian
Seorang Karateka berjiwa ksatria, sportif, berbudi pekerti luhur, tidak sombong dan rendah hati
b) Sanggup Patuh Pada Kejujuran
Seorang Karateka pantang berbohong, jujur pada diri sendiri dan orang lain, sehingga dapat dipercaya semua orang.
c) Sanggup Mempertinggi Prestasi
Sesuai tingkatan sabuk, seorang Karateka harus dapat meningkatkan kemampuan diri dari segi teknik, fisik dan keilmuan serta filosofi Karate-Do. Bagi para atlet harus rajin berlatih agar mampu meningkatkan prestasi yang sudah diraih.
d) Sanggup Menjaga Sopan Santun
Karateka adalah figur yang memiliki etika dalam kehidupan sehari-hari, baik di perguruan, pekerjaan dan pergaulan di masyarakat. Menghormati dan menghargai sesama Karateka (yunior, setara dan senior) maupun kepada orang lain.
Sebagaimana dinasihatkan Gichin Funakoshi: “Tanpa sopan santun kau tidak akan bisa berlatih Karate-Do. Hal ini tidak hanya berlaku selama latihan saja namun juga dalam hidupmu sehari-hari.”
e) Sanggup Menguasai Diri
Seorang Karateka yang menjiwai Karate-Do akan mampu mengendalikan emosinya. Lebih memilih menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah daripada kepalan tangan. Selalu menghindari perkelahian daripada menimbulkan masalah apalagi mencederai orang lain. Teknik Karate hanya digunakan saat keadaan benar-benar memaksa dan tak ada jalan lain untuk menghindar.
Gichin Funakoshi mengingatkan; untuk mendapat seratus kemenangan dalam seratus pertarungan bukanlah kemampuan yang tertinggi. Untuk menaklukkan lawan tanpa bertarung adalah kemampuan yang tertinggi.
Sebuah renungan
Sumpah Karate diucapkan saat upacara tradisi Karate, di awal dan akhir latihan.
Jika latihan dua kali dalam seminggu, berarti seminggu empat kali mengucap sumpah.
Dalam sebulan, berarti enam belas kali mengucap sumpah.
Sebagai Karateka, apakah sikap dan tingkah laku kita sudah sesuai dengan sumpah yang kita ucapkan ratusan bahkan ribuan kali selama kita berlatih Karate?
Tingkatan sumpah lebih tinggi tanggungjawabnya dari sekedar ikrar dan janji.
Sumpah, mudah diucapkan, tapi tak semua orang bisa melaksanakan.
History of Karate
Ilmu bela diri sebenarnya sudah dikenal semenjak manusia ada, hal ini dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan purbakala antara lain: kapak-kapak batu, lukisan-lukisan binatang yang dibunuh dengan senjata seperti tombak dan panah.
Bela diri pada waktu itu hanya bersifat mempertahankan diri dari gangguan binatang buas dan alam sekitarnya. Namun sejak pertambahan penduduk dunia semakin meningkat, maka gangguan yang datang dari manusia mulai timbul sehingga keinginan orang untuk menekuni ilmu bela diri semakin meningkat.
Tersebutlah pada 4.000 tahun yang lalu, setelah Sidartha Gautama pendiri Budha wafat, maka para pengikutnya mendapat amanat agar mengembangkan agama Budha keseluruh dunia. Namun karena sulitnya medan yang dilalui, maka para pendeta diberikan bekal ilmu bela diri. Misi yang ke arah Barat ternyata mengembangkan ilmu Pangkration atau Wrestling di Yunani. Misi keagamaan yang berangkat ke arah Selatan mengembangkan semacam, pencak silat yang kita kenal sekarang ini. Salah satu misi yang ke Utara menjelajahi Cina menghasilkan kungfu (belakangan di abad XII, kungfu dibawa oleh pedagang Cina dan Kubilai Khan ke negara Majapahit di Jawa Timur).
Dari Cina rombongan yang ke Korea menghasilkan bela diri yang kemudian kita kenal dengan Taekwondo. Dari Korea ternyata rombongan tidak dapat meneruskan perjalanan ke Jepang, tetapi berhenti hanya sampai di kepulauan Okinawa. Tidak berhasil masuknya rombongan ke Jepang, karena di Jepang saat itu sudah mengembangkan ilmu bela diri Jujitsu, Judo, Kendo dan ilmu pedang (Kenjutsu).
Menurut sejarah sebelum menjadi bagian dari Jepang, Okinawa adalah suatu wilayah berbentuk kerajaan yang bebas merdeka. Pada waktu itu Okinawa mengadakan hubungan dagang dengan pulau-pulau tetangga. Salah satu pulau tetangga yang menjalin hubungan kuat adalah Cina. Hasilnya Okinawa mendapatkan pengaruh yang kuat akan budaya Cina.
Sebagai pengaruh pertukaran budaya itu banyak orang-orang Cina dengan latar belakang yang bermacam-macam datang ke Okinawa mengajarkan bela dirinya pada orang-orang setempat. Yang di kemudian hari menginspirasi nama kata seperti Jion yang mengambil nama dari biksu Budha. Sebaliknya orang-orang Okinawa juga banyak yang pergi ke Cina lalu kembali ke Okinawa dan mengajarkan ilmu yang sudah diperoleh di Cina.
Pada tahun 1477 Raja Soshin di Okinawa memberlakukan larangan pemilikan senjata bagi golongan pendekar. Tahun 1609 Kelompok Samurai Satsuma dibawah pimpinan Shimazu Iehisa masuk ke Okinawa dan tetap meneruskan larangan ini. Bahkan mereka juga menghukum orang-orang yang melanggar larangan ini. Sebagai tindak lanjut atas peraturan ini orang-orang Okinawa berlatih Okinawa-te (begitu mereka menyebutnya) dan Ryukyu Kobudo (seni senjata) secara sembunyi-sembunyi. Latihan selalu dilakukan pada malam hari untuk menghindari intaian. Tiga aliranpun muncul masing-masing memiliki ciri khas yang namanya sesuai dengan arah asalnya, yaitu : Shurite, Nahate, dan Tomarite. Seni bela diri karate pertama kali disebut “Tote” yang berarti seperti “Tangan China”.
Namun demikian pada akhirnya Okinawa-te mulai diajarkan ke sekolah-sekolah dengan Anko Itosu (juga mengajari Gichin Funakoshi) sebagai instruktur pertama. Dan tidak lama setelah itu Okinawa menjadi bagian dari Jepang, sehingga membuka jalan bagi karate masuk ke Jepang. Gichin Funakoshi ditunjuk mengadakan demonstrasi karate di luar Okinawa bagi orang-orang Jepang.
Gichin Funakoshi sebagai Bapak Karate Moderen dilahirkan di Shuri, Okinawa, pada tahun 1868, Funakoshi belajar karate pada Azato dan Itosu. Setelah berlatih begitu lama, pada tahun 1916 (ada yang pula yang mengatakan 1917) Funakoshi diundang ke Jepang untuk mengadakan demonstrasi di Butokukai yang merupakan pusat dari seluruh bela diri Jepang saat itu.Selanjutnya pada tahun 1921, putra mahkota yang kelak akan menjadi kaisar Jepang datang ke Okinawa dan meminta Funakoshi untuk demonstrasi. Bagi Funakoshi undangan ini sangat besar artinya karena demonstrasi itu dilakukan di arena istana. Setelah demonstrasi kedua ini Funakoshi seterusnya tinggal di Jepang. Agar Karate lebih mudah diterima oleh masyarakat Jepang, maka Gichin Funakoshi mengubah kanji Okinawa (Tote = Tangan China) dalam kanji Jepang menjadi ‘karate’ (Tangan Kosong). Karate terdiri dari atas dua kanji. Yang pertama adalah ‘Kara’ dan berarti ‘kosong’. Dan yang kedua, ‘te’ berarti ‘tangan’. Yang dua kanji bersama artinya “tangan kosong”.
Latihan dasar karate terbagi tiga seperti berikut:
1. Kihon, yaitu latihan teknik-teknik dasar karate seperti memukul, menendang, dan menangkis.
2. Kata, yaitu latihan jurus atau bunga karate.
3. Kumite, yaitu latihan laga atau bertarung.
Selama di Jepang pula Funakoshi banyak menulis buku-bukunya yang terkenal hingga sekarang. Seperti "Ryukyu Kempo : Karate" dan "Karate-do Kyohan". Dan sejak saat itu klub-klub karate terus bermunculan baik di sekolah dan universitas.
Gichin Funakoshi selain ahli karate juga pandai dalam sastra dan kaligrafi. Nama Shotokan diperolehnya sejak kegemarannya mendaki gunung Torao (yang dalam kenyataannya berarti ekor harimau). Dimana dari sana terdapat banyak pohon cemara ditiup angin yang bergerak seolah gelombang yang memecah dipantai. Terinspirasi oleh hal itu Funakoshi menulis sebuah nama "Shoto" yang berarti kumpulan cemara yang bergerak seolah gelombang, dan "Kan" yang berarti ruang atau balai utama tempat muridnya-muridnya berlatih.
Simbol harimau yang digunakan karate Shotokan yang dilukis oleh Hoan Kosugi (salah satu murid pertama Funakoshi), mengarah kepada filosofi tradisional Cina yang mempunyai makna bahwa ’’harimau tidak pernah tidur’’. Digunakan dalam karate Shotokan karena bermakna kewaspadaan dari harimau yang sedang terjaga dan juga ketenangan dari pikiran yang damai yang dirasakan Gichin Funakoshi ketika sedang mendengarkan suara gelombang pohon cemara dari atas Gunung Torao.
Sekalipun Funakoshi tidak pernah memberi nama pada aliran karatenya, murid-muridnya mengambil nama itu untuk dojo yang didirikannya di Tokyo sekitar tahun 1936 sebagai penghormatan pada sang guru. Shotokan adalah aliran karate yang mempunyai ciri khas beragam teknik lompatan (seperti Enpi, Kanku Dai, Kanku Sho dan Unsu), gerakan yang ringan dan cepat. Membutuhkan ketepatan waktu dan tenaga untuk melancarkan suatu teknik.
Gichin Funakoshi percaya bahwa akan membutuhkan waktu seumur hidup untuk menguasai manfaat dari KATA. Dia memilih kata yang yang terbaik untuk penekanan fisik dan bela diri. Yang mana mempertegas keyakinannya bahwa karate adalah sebuah seni daripada olah raga. Baginya kata adalah karate.
Lalu pada tahun 1949 Japan Karate Association (JKA) berdiri dengan Gichin Funakoshi sebagai instruktur kepalanya. Gichin Funakoshi meninggal pada tanggal 26 April 1957.
Saat ini di negara Jepang, organisasi yang mewadahi olahraga Karate adalah Japan Karate-Do Federation (JKF). Dan organisasi yang mewadahi Karate seluruh dunia adalah WKF (World Karate Federation), (dulu dikenal dengan nama WUKO - World Union of Karate-Do Organizations). Ada pula ITKF (International Traditional Karate Federation) yang mewadahi karate tradisional. Adapun fungsi dari JKF dan WKF adalah terutama untuk meneguhkan olah raga bela diri Karate yang bersifat Non-Contact, berbeda dengan aliran Kyokushin atau Daidojuku yang Full Contact.
Pada saat ini karate dapat dibagi menjadi dua (2) aliran; yaitu aliran tradisional dan aliran olah raga. Aliran tradisional lebih menekankan aspek bela diri dan teknik tempur sedangkan aliran olah raga lebih menumpukan jiwa sportifitas dan teknik-teknik untuk pertandingan olah raga.
(Disadur dari berbagai sumber)
Home
SEJARAH
AMURA KARATE-DO INDONESIA
Perguruan Olah Raga Seni Beladiri Karate-Do ini didirikan di Bandung pada tahun 1965, mengenai kapan tanggal didirikannya tidak ada satupun yang mengetahuinya. Perguruan Amura Karate-Do Indonesia biasa disebut AMURA, AMURA juga dapat diartikan sebagai Ajang Membina Ulet Raga.
Keberadaan Perguruan AMURA dimana Bpk. H. Moch Ramli, SH selaku Ketua Umum dikala itu memang diakui oleh FORKI (Federasi Olah Raga Karate-Do Indonesia), dikarenakan AMURA turut ikut berperan serta juga atas berdirinya Organisasi FORKI dan menjadi salah satu dari anggotanya. Akan tetapi karena tidak ada kegiatan yang dilakukan oleh Perguruan AMURA sampai pertengahan tahun 1989, maka Perguruan AMURA dinyatakan oleh FORKI sebagai salah satu Perguruan Non Aktif sehingga tidak dapat diikutsertakan pada setiap kegiatan FORKI.
Pada tanggal 11 September 1989 Bpk. H. Moch Ramli, SH selaku Ketua Umum Perguruan Amura Karate-Do Indonesia, ketika itu menulis surat yang ditujukan langsung kepada Pengurus Besar FORKI (PB. FORKI), perihal pernyataan Pelimpahan Kepengurusan Organisasi Perguruan Amura Karate-Do Indonesia kepada Sensei Tadjuddin Mustadjab dan Sensei J. Bram polana, untuk mengurus, menggerakkan serta menjalankan Roda Organisasi Perguruan Amura Karate-Do Indonesia sekaligus menyatakan bahwa perpindahan alamat sekretariat pusat yang semula beralamat di Jl. Balong Gede No. 41 Bandung, kemudian dialihkan ke Jl. Balok No.11 Kamp. Ambon - Jakarta 13210 Telp./Fax. (021) 4895251, hal ini tertera dan tertuang pada surat No.001/AMR/X/89 tertanggal 11 September 1989 yang ditandatangani sendiri oleh Bpk. H. Moch. Ramli, SH secara personal selaku Ketua Umum Amura Karate-Do Indonesia .
Perlu diketahui bahwa Perguruan Amura Karate-Do Indonesia pada saat itu tidak memiliki personil berupa Kepengurusan Organisasi terkecuali Bpk. H. Moch. Ramli, SH sendiri secara personal, untuk selanjutnya surat tersebut sah-sah saja diterima oleh PB. FORKI, kemudian disusul dengan surat No.002/AMR/XI/89 tertanggal 10 Nopember 1989 yang ditujukan langsung kepada PB. FORKI juga, perihal afiliasi teknik Karate Perguruan Amura Karate-Do Indonesia yaitu menggunakan Aliran Wado (Wado Ryu). Kemudian mengenai Susunan Kepengurusan Pusat sejak dikeluarkannya surat tersebut secara teknis Perguruan Amura Karate-Do Indonesia telah diserahkan langsung kepada Sensei Tadjuddin Mustadjab dan Sensei J. Bram Polana .
Adapun aliran yang dipakai oleh Perguruan Amura Karate-Do Indonesia adalah Aliran Wado (Wado Ryu). Karena duet Sensei J. Bram Polana dan Sensei Tadjuddin Mustadjab merupakan Representatif (Perwakilan) dari Wado International Karate-Do Federation (WIKF) untuk Indonesia yang dipimpin langsung oleh Sensei Professor Tatsuo Suzuki DAN 8 Hanshi sebagai Chief Director of WIKF.
Atas dasar surat tersebut secara praktis Perguruan Amura Karate-do Indonesia dilanjutkan oleh Trio Pendiri Amura Karate-do Indonesia yaitu :
¯ H. Moch. Ramli, SH sebagai Ketua Umum
¯ J. Bram Polana sebagai Ketua Harian/KAKOMTEK Pusat
¯ Ir. Tadjuddin Mustadjab sebagai Ketua Dewan Guru
Untuk melihat perkembangan Karate-Do aliran WADO (WADO RYU) khususnya WIKF (Wado International Karate-Do Federation) Indonesia yang di percayakan/di pimpin oleh duet Sensei J. Bram Polana dan Sensei Tadjudin Mustadjab. Pada tanggal 7 Maret 1990 Sensei Tatsuo Suzuki (Chief Director of WIKF) menyempatkan diri singgah di Indonesia dalam kunjungannya ke Negara-negara Eropa dan Australia, serta membuka Gashuku Nasional 1 (pertama), Amura (WIKF) Karate-Do Indonesia Cibubur pada tanggal 10 - 11 maret 1990, yang di hadiri sebanyak 690 Karate-Ka dari DKI, Jawa Barat dan Sumatera Selatan (Palembang).
Gambar : Sensei Suzuki (tengah) bersama J. Sensei Bram Polana (kedua dari kanan) dan para atlet KOSGORO Cup 1.
Selama di Indonesia Sensei Tatsuo Suzuki melatih Karate-Ka-Karateka-Ka Amura dalam persiapannya menghadapi KOSGORO CUP 1 yang diadakan pada tanggal 12 - 15 Maret 1990 dan menguji Karate-Ka sabuk cokelat serta sabuk hitam untuk kenaikan tingkat, serta meresmikan keberadaan aliran Wado (WADO RYU) diperguruan Amura tersebut.
Untuk meyakinkan PB. FORKI bahwa Perguruan Amura Karate-Do Indonesia adalah beraliran Wado (Wado Ryu) dengan Logo / Lambang berupa gambar BURUNG MERPATI yang melambangkan Perdamaian dengan LINGKARAN BERWARNA MERAH melambangkan Dunia sehingga Wado Ryu bertujuan untuk mendamaikan dunia melalui olah raga seni beladiri Karate. Kemudian Sensei J. Bram Polana dan Sensei Tadjuddin Mustadjab mengundang Pimpinan Wado International Karate-Do Federation (WIKF) Yaitu Sensei Professor Tatsuo Suzuki DAN 8 Hanshi sebagai Chief Director of WIKF untuk meresmikan Perguruan Amura Karate-Do Indonesia yang dipimpin oleh Sensei J. Bram Polana dan Sensei Tadjuddin Mustadjab adalah berafiliasi teknik kepada WIKF yaitu Aliran Wado (Wado Ryu). Pada tanggal 10 Maret 1990 kunjungan kehormatan Pakar Karate-DO dari JEPANG Aliran Wado (WADO RYU) yaitu Sensei Prof. Tatsuo Suzuki menyempatkan diri untuk memberikan beberapa buku Karate Sensei Tatsuo Suzuki dan berupa vandal perguruan Amura Karate-Do Indonesia dan diterima dengan sangat baik oleh Ketua Harian PB. FORKI yaitu Bpk. Adam Saleh untuk meminta restu bahwa Perguruan Amura Karate-Do Indonesia beraliran Wado (Wado Ryu). Dengan didampingi oleh Sensei J. Bram Polana dan Sensei Tadjuddin Mustadjab serta beberapa Pengurus Pusat Amura Karate-Do Indonesia Lainnya. Tetapi sangat disayangkan bahwa pada acara tersebut tidak dapat dihadiri oleh Ketua Umum Amura Karate-Do Indonesia Yaitu Bpk. H. Moch. Ramli, SH.
Gambar : Bpk. Adam Saleh selaku Ketua Harian PB. FORKI dan Sensei Prof. Tatsuo Suzuki DAN 8 Hanshi bersama Pengurus Pusat Amura Karate-do Indonesia.
Gambar : Sensei Suzuki memberikan kenang-kenangan berupa buku-buku karate versi Tatsuo Suzuki dan juga berupa vandal perguruan Amura Karate-Do Indonesia kepada Bpk. Adam Saleh selaku Ketua Harian PB. FORKI.
Pada kesempatan itu pula Sensei Tatsuo Suzuki banyak memberikan nasehat dan saran yang membangun bagi perguruan Amura Karate-Do Indonesia serta latihan bersama sehingga dapat menambah wawasan didunia perkaratean aliran Wado (Wado Ryu) kepada dewan guru, pelatih, atlet dan khususnya Sensei J. Bram Polana dimana secara pribadi beliau sering berkomunikasi dengan Sensei Tatsuo Suzuki dalam mengikuti perkembangan Karate Aliran Wado (Wado Ryu) bahkan Sensei J. Bram Polana diterima dengan sangat baik dan ditunjuk sebagai Authorized Representative (perwakilan) of WIKF in Indonesia oleh Sensei Tatsuo Suzuki.
Gambar :
Sensei J. Bram Polana merupakan Authorized Representative of WIKF di Indonesia yang ditunjuk langsung oleh Sensei Prof. Tatsuo Suzuki DAN 8 Hanshi.
Prestasi Amura (WIKF) Karate-Do Indonesia didunia perkaratean Nasional cukup meningkat tajam, terbukti dengan berkembangnya dan terbentuknya dojo-dojo baru di daerah-daerah serta lahirnya atlit-atlit berbakat sehingga Amura (WIKF) karate-Do Indonesia merupakan salah satu perguruan Karate-Do anggota FORKI yang sebelumnya tidak di kenal bahkan dinyatakan tidak aktif, tapi saat sekarang dapat di perhitungkan terutama dalam ajang turnamen kejuaraan daerah, terbuka maupun nasional.
Sensei J. Bram Polana dan Sensei Tadjuddin Mustadjab harus bekerja keras menjalankan Roda Organisasi Amura Karate-Do Indonesia, disebabkan PB. FORKI akan menerima dan menyatakan Perguruan Amura Karate-Do Indonesia adalah sebagai anggota FORKI apabila dapat memiliki minimal 5 (lima) Pengurus Daerah dalam jangka waktu 3 bulan. Sejak saat itu Sensei Tadjuddin Mustadjab mulai membuka Pengda - Pengda (Pengurus Daerah) antara lain : Pengda Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan kalimantan Selatan sedangkan Sensei J. Bram Polana menata kembali Pengda - Pengda yang sudah berdiri dikala itu antara lain : Pengda DKI Jakarta meliputi Dojo (Tempat Latihan) di BAPINDO, Kampus LPT YAI, PSKD - I, BPK (jl. Gatot Soebroto), Balai Krisda, SMP 87 Grogol, Kanisius (Goganza), Departemen Perhubungan METEO (Meteorologi dan Geophisika), SMP Fransiskus II, SMP 59 (jl. Bendungan Jago Kemayoran), SD Ports Serdang Kemayoran, SMP 89 Tanjung Barat - Jakarta Barat dan Pengda Jawa Barat meliputi Dojo PT. INS (Indonesia Nihon Seima) Tangerang, Perum Bumi Bekasi Baru, Rindam III Siliwangi (jl. Manado Baru), dan Perum Total Persada Tangerang.
Dalam kurun waktu tidak terlalu lama terbentuklah Pengda - Pengda di seluruh daerah berkat ketekunan dan keuletan Sensei J. Bram Polana. Atas usaha beliau yang tidak mudah menyerah, akhirnya dalam waktu singkat beliau dapat mendirikan beberapa Pengda di seluruh Indonesia antara lain : Pengda Jawa Tengah, Bali, Sumatera Barat ,Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan (Palembang), Kalimantan Tengah, Sulawaesi Tenggara, Sulawaesi Utara, terakhir Kalimantan Barat.
Sejak terbentuknya Amura Karate-Do Indonesia yang dipimpin oleh Trio H. Moch. Ramli, SH sebagai Ketua Umum, J. Bram Polana sebagai Ketua Harian/KAKOMTEK Pusat, Ir. Tadjuddin Mustadjab sebagai Ketua Dewan Guru. H. Moch. Ramli, SH selaku Ketua Umum Amura Karate-Do Indonesia tidak banyak terlibat aktif dalam Roda Organisasi baik Internal maupun External (yaitu kegiatan FORKI) sehingga terjadi dilema dan kemelut didalam tubuh organisasi Amura Karate-Do Indonesia sendiri terutama pada pengurus pusat maupun pengurus daerah. Akibatnya banyak pengurus pusat maupun pengurus daerah beralih keperguruan lain atau menon-aktifkan diri (tidak mengaktifkan diri) dan mengundurkan diri secara lisan tanpa surat tertulis.
Namun karena kesibukan Sensei Tadjuddin Mustadjab selaku Ketua Dewan Guru Amura Karate-Do Indonesia lebih banyak berpartisipasi pada organisasi PB. FORKI sebagai Dewan Wasit PB. FORKI, sehingga kesehatan beliau mulai terganggu dan sering sakit-sakitan. Akhirnya pada awal tahun 2006 beliau wafat dengan damai. Secara teknis Roda Organisasi Amura Karate-Do Indonesia diambil alih dan digerakkan sendiri oleh Sensei J. Bram Polana. Sampai saat ini Pengda Amura Karate-Do Indonesia yang masih aktif dan diketahui keberadaanya antara lain sebagai berikut : Pengda DKI Jaya, Pengda Jawa Barat, Pengda Jawa Timur, Pengda Banten, Pengda Kalimantan Tengah, Pengda Kalimantan Barat, Pengda Sumatera Selatan, Pengda Sumatera Barat, Pengda Jambi, Pengda Bangka Belitung (Ba-Bel) dan Pengda Papua.
Atas dorongan beberapa pengurus pusat maupun daerah agar Sensei J. Bram Polana secara terus menerus meminta kepada Bpk. H. Moch. Ramli, SH untuk aktif dan dapat meluangkan waktunya sebagai Ketua Umum agar dapat memberikan perhatiannya terhadap organisasi Amura Karate-Do Indonesia serta tidak melepas tanggung jawabnya sebagai Ketua Umum. Akibat tindakan Bpk. H. Moch. Ramli, SH selaku Ketua Umum sampai sedemikian rupa, Sensei J. Bram Polana meminta kepada pengurus Daerah untuk langsung menghubungi Ketua Umum baik dengan surat-menyurat maupun melalui telepon namun tidak ada jawaban yang diharapkan. Karena masa kepengurusan sudah kadaluarsa (habis masa waktunya) mulailah pengurus-pengurus daerah menanyakan dan merencanakan untuk mengadakan MUNAS atau KONGRES/RAKERNAS dan kemudian ditujukan langsung kepada Bpk. H. Moch. Ramli, SH selaku Ketua Umum akan tetapi tidak ada jawaban sama sekali ketika itu. Kondisi perguruan Amura Karate-Do Indonesia semakin rumit disusul dengan terbentuknya Amura Karate-Do Indonesia yang baru dan diperkuat dengan sebuah pernyataan adanya perubahan pengurus organisasi dan logo/lambang Amura Karate-Do Indonesia yang ternyata Bpk H. Moch. Ramli, SH selaku Ketua Umum telah membentuk kepengurusan organisasi Amura Karate-Do Indonesia dengan beranggotakan personil dari Ex. / Mantan FKTI ( Federasi Karate-Do Tradisional Indonesia ) dengan nama Perguruan Amura Karate-Do Indonesia disingkat AKSI dengan lambang/logo yang sekarang terdaftar di FORKI yaitu Gambar Burung Merpati Putih dan Lingkaran Merah diubah menjadi Bulan Sabit berwarna merah.
Secara mengejutkan, PB. FORKI mengeluarkan SK. pengesahan Pengurus Pusat dan Dewan Guru Amura Periode 2007-2012 dengan SK. no. 29/KPTS/PBFK/KU/IX//07 tertanggal 11 September 2007 yang ditanda tangani oleh Luhut B. Pandjaitan, MPA selaku Ketua Umum PB. FORKI dan Sekretaris Jenderal Drs. H. Hendardji S, SH (surat terlampir) dan surat edaran mengenai pergantian logo/lambang Amura No. 205/PB.FORKI-Sekjen/XI/07 tertanggal 14 September 2007 yang ditandatangani oleh Drs. H. Hendardji S, SH (surat terlampir). Awalnya Sensei J. Bram Polana menerima kabar justru dari daerah – daerah bahwa telah diturunkan SK. FORKI mengenai Susunan Kepengurusan, logo, dan Afiliasi Teknik yang baru (Multi Aliran – 4 Aliran antara lain Shotokan, Wado Ryu, Shito Ryu dan Goju Ryu) kemudian berdasarkan berita yang telah dimuat pada salah satu media elektonik serta media cetak, AKSI (New AMURA) mempublikasikannya. Bahwa telah diturunkan SK. FORKI mengenai Susunan Kepengurusan, logo, dan Afiliasi Teknik yang baru (Multi Aliran – 4 Aliran). 14 Pengda AMURA (WIKF) KARATE-DO INDONESIA yang tersebar diseluruh pelosok Indonesia pada saat itu sangat kaget dan terkejut mendengar berita tersebut dan langsung mengkonfirmasi dan memohon klarifikasi kepada beliau bagaimana hal ini bisa terjadi dan kenapa seluruh Pengda Amura tidak mendapat konfirmasi sebelumnya mengenai perubahan / pergantian Susunan Kepengurusan, logo, dan Afiliasi Teknik yang baru (Multi Aliran – 4 Aliran). Sensei J. Bram Polana juga sangat terkejut bahwa beliau tahu berita tersebut justru dari seluruh Pengda di Indonesia, sedangkan beliau sendiri tidak diberi tahu, tidak dikonfirmasi dan tidak diinformasikan oleh Bpk. H. Moch. RAMLI, SH selaku Ketua Umum Amura Karate-do Indonesia akan hal ini. Secara tiba-tiba SK. FORKI mengenai Susunan Kepengurusan, logo, dan Afiliasi Teknik yang baru (Multi Aliran – 4 Aliran) diturunkan dan dipublikasikan. Kemudian 14 pengda AMURA (WIKF) KARATE-DO INDONESIA sangat geram atas tindakan otoriter yang telah dilakukan oleh Bpk. H. Moch. RAMLI, SH selaku Ketua Umum Amura Karate-do Indonesia secara sepihak, “ TANPA ADANYA MUNAS, TANPA ADANYA KONFIRMASI dan MUSYAWARAH KEPADA SENSEI J. BRAM POLANA SELAKU KETUA HARIAN dan SENPAI ALBERTUS NICO SELAKU SEKRETARIS UMUM AMURA KARATE-DO INDONESIA”. Bpk. H. Moch. RAMLI, SH selaku Ketua Umum Amura Karate-do Indonesia bertindak sendiri dan secara sepihak untuk mengambil alih seakan-akan beliau yang memiliki perguruan ini sendiri. Oleh karena itu seluruh Pengda Amura Karate-do Indonesia mengajukan permohonan penolakan kepada Sensei J. Bram Polana untuk membuat SK. penolakan terhadap SK. FORKI yang secara sepihak telah dikukuhkan untuk kemudian ditembuskan kepada PB. FORKI dan Ketua Perguruan - perguruan. Menurut Sensei J. Bram Polana hal ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya surat pernyataan mengenai sikap penolakan tersebut dan dukungannya atau penunjukannya, selain itu pula harus ada pembenahan pengurus didalam tubuh organisasi, terutama di pusat yang pada saat itu tidak lengkap. Terutama dalam hal ini yang paling geram dan sakit hati adalah Amura Pengda JABAR disebabkan mereka tidak mendapat informasi maupun konfirmasi dari H. Moch. RAMLI, SH selaku KETUA UMUM AMURA PENGDA JABAR, justru mereka mendapat informasi dari mass media. Padahal Bpk. H. Moch. RAMLI, SH selaku KETUA UMUM AMURA PENGDA JABAR berdomisili sama-sama di Bandung, tapi mereka tidak mendapat konfirmasi secara langsung dari beliau. Akan tetapi FORKI Pengda JABAR masih tetap mengakui Amura Wadoryu.
Hal ini menimbulkan kekecewaan yang sangat luar biasa terhadap pengurus organisasi yang ada dan tidak mengetahui sebelumnya, dimana menurut beberapa pengurus pusat maupun daerah mengenai keputusan perubahan ini tidak dilaksanakan secara organisatoris serta tidak sesuai dengan AD/ART perguruan Amura Karate-Do Indonesia yang seharusnya melalui hasil MUNAS. Apakah tindakan PB. FORKI dapat dibenarkan? Anehnya lagi khususnya Amura Karate-Do Indonesia Pengda Jawa Barat “ menurut Sensei J. Bram Polana Pengda Jawa Barat merupakan salah satu Pengda yang sangat aktif dan pengurusnya mengerti akan organisasi ” dimana susunan pengurus daerah Jawa Barat termasuk Bpk H. Moch. Ramli, SH selaku Ketua Umum Pengda Jabar (merangkap juga sebagai Ketua Umum Amura Pusat) diubah juga susunan pengurus Amura Pengda Jabar tanpa sepengetahuan pengurus yang aktif lainnya.
Mengenai peristiwa tersebut Sensei J. Bram Polana dan seluruh pengurus, khususnya pengurus Amura Pengda Jawa Barat, menganggap bahwa Sdr. H. Moch. Ramli, SH selaku Ketua Umum telah memisahkan diri dari kepengurusan Amura Karate-Do Indonesia yang beraliran Wado dikarenakan telah membentuk kepengurusan baru bersama-sama dengan putranya yaitu Soni Ramli, SH, LLM selaku Sekretaris Umum dan Ex./mantan anggota FKTI (Federasi Karate-Do Tradisional Indonesia) diantaranya adalah ;
- Sdr. Abdul Latief - Sdr. Suyana
- Sdr. Ucok Marisi, SH, MM - Sdr. Anang Kadriansyah
- Sdr. Syahril Ossen, SE - Sdr. Nurief Muda’af
- Sdr. Tengku Adisyam
Dengan nama Amura Karate-Do Indonesia (AKSI) berlambangkan bulan sabit merah dan memiliki konsep multi aliran antara lain : Shotokan, Shito Ryu, Goju Ryu dan Wado Ryu. Hal tersebut menurut AD/ART FORKI seharusnya tidak didukung / diterima begitu saja sebagai anggota baru oleh PB. FORKI yang jelas tertera pada ART FORKI BAB III perihal Keanggotaan Pasal ke-5 yang berbunyi ;
Pasal 5.2. “ Perguruan Karate-Do anggota FORKI harus mempunyai minimal 5 (lima) pengurus daerah”
Pasal 5.3. “ FORKI tidak lagi menerima penambahan keanggotaan Organisasi perguruan Karate-Do yang baru.
Sampai saat ini Perguruan Amura Karate-Do Indonesia yang menganut konsep Aliran Wado (Wado Ryu) dibawah kepemimpinan Sensei J. Bram Polana masih berjalan seperti sediakala. Ada beberapa daerah seperti Pengda Amura Kalimantan Barat dan Pengda Sumatera Barat. Pada akhirnya secara mengejutkan kedua pengda tersebut mengekor kepada AMURA (AKSI), sehingga kondisi Perguruan Amura Karate-Do Indonesia saat ini dapat diasumsikan memiliki 2 kelompok / kubu / grup (istilahnya bisa disebut seperti itu) yaitu AMURA (WADO RYU) dan AMURA (AKSI) yang memiliki konsep multi aliran. Perlu diketahui bahwa kedua Pengda tersebut diatas merupakan gabungan dari perguruan lain melainkan bukan Karate-ka Wado asli seperti Amura Pengda Sumatera Barat awalnya berasal dari Perguruan GOKASI dan Amura Pengda Kalimantan Barat berasal dari Perguruan KKI. Kemudian Sensei J. Bram Polana dikejutkan kembali dengan bermunculan pengda baru yaitu Amura (Wado Ryu) Pengda Nangroe Aceh Darussalam, mereka berafiliasi teknik ke Wado Ryu tetapi menggunakan logo / lambang Amura (AKSI).
Inilah sekilas perjalanan Perguruan Amura Karate-Do Indonesia berafiliasi teknik kepada aliran Wado (Wado Ryu), hanya tinggal menunggu hasil MUNAS / MUNASLUB Perguruan Amura (WIKF) Karate-Do Indonesia yang akan segera direncanakan .
“ Kami Keluarga Besar Amura (WIKF) Karate-Do Indonesia mengharapkan agar PB. FORKI dapat meninjau kembali atas tindakannya terhadap SK. tersebut diatas sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) Anggaran Rumah Tangga (ART) FORKI atau menyimpang dari AD maupun ART FORKI serta dapat merenungkan bagaimana tugas PB. FORKI yang seharusnya dapat membina, mengayomi dan menjembatani seluruh perguruan-perguruan anggota FORKI di Indonesia”.
Atau
Pada tahun 1964, kembalilah ke tanah air salah seorang mahasiswa Indonesia yang telah menyelesaikan kuliahnya di Jepang yang bernama Drs. Baud A.D. Adikusumo (Alm.). Beliau adalah seorang karateka yang mendapatkan sabuk hitam dari M. Nakayama, JKA Shotokan. Di Indonesia beliau mulai mengajarkan karate. Melihat banyaknya peminat yang ingin belajar karate, lalu ia mendirikan PORKI (Persatuan Olahraga Karate-Do Indonesia) yang merupakan cikal bakal FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia). Sehingga beliau tercatat sebagai pelopor seni beladiri Karate di Indonesia. Dan beliau juga adalah pendiri Indonesia Karate-DO (INKADO).
Setelah beliau, tercatat nama putra-putra bangsa Indonesia yang ikut berjasa mengembangkan berbagai aliran Karate di Indonesia, antara lain Bp. Sabeth Mukhsin dari aliran Shotokan, pendiri Institut Karate-Do Indonesia (INKAI) dan Federasi Karate Tradisional Indonesia (FKTI), dan juga dari aliran Shotokan adalah Anton Lesiangi (pendiri Lembaga Karate-Do Indonesia/LEMKARI), yang pada dekade 2005 karena masalah internal perguruan banyak anggota LEMKARI yang keluar lalu kemudian mendirikan INKANAS (Institut Karate-do Nasional) yang merupakan peleburan dari perguruan MKC (Medan Karate Club). Kabarnya, perguruan ini sekarang menjadi besar dan maju, tidak kalah dengan LEMKARI.
Aliran Shotokan adalah yang paling populer di Indonesia. Selain Shotokan, Indonesia juga memiliki perguruan-perguruan dari aliran lain yaitu Wado dibawah asuhan Wado-ryu Karate-Do Indonesia (WADOKAI) yang didirikan oleh Bp. C.A. Taman dan Kushin-ryu Matsuzaki Karate-Do Indonesia (KKI) yang didirikan oleh Matsuzaki Horyu. Selain itu juga dikenal Bp. Setyo Haryono dan beberapa tokoh lainnya membawa aliran Goju-ryu, Bp. Nardi T. Nirwanto dengan beberapa tokoh lainnya membawa aliran Kyokushin. Aliran Shito-ryu juga tumbuh di Indonesia dibawah perguruan GABDIKA Shitoryu (dengan tokohnya Bp. Dr. Markus Basuki) dan SHINDOKA (dengan tokohnya Bp. Bert Lengkong). Selain aliran-aliran yang bersumber dari Jepang diatas, ada juga beberapa aliran Karate di Indonesia yang dikembangkan oleh putra-putra bangsa Indonesia sendiri, sehingga menjadi independen dan tidak terikat dengan aturan dari Hombu Dojo (Dojo Pusat) di negeri Jepang.
Pada tahun 1972, 25 perguruan Karate di Indonesia, baik yang berasal dari Jepang maupun yang dikembangkan di Indonesia sendiri (independen), setuju untuk bergabung dengan FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia), yang sekarang menjadi perwakilan WKF (World Karate Federation) untuk Indonesia. Dimana perguruan karate yang bernaung dibawah FORKI adalah :
1. AMURA
2. BKC (Bandung Karate Club)
3. BLACK PANTHER KARATE INDONESIA
4. FUNAKOSHI
5. GABDIKA SHITORYU INDONESIA (Gabungan Beladiri Karate-Do Shitoryu)
6. GOJUKAI (Gojuryu Karate-Do Indonesia)
7. GOJU RYU ASS (Gojuryu Association)
8. GOKASI (Gojuryu Karate-Do Shinbukan Seluruh Indonesia)
9. INKADO (Indonesia Karate-Do)
10.INKAI (Institut Karate-Do Indonesia)
11.INKANAS (Intitut Karate-Do Nasional)
12.KALA HITAM
13.KANDAGA PRANA
14.KEI SHIN KAN
15.KKNSI (Kesatuan Karate-Do Naga Sakti Indonesia)
16.KKI (Kushin Ryu M. Karate-Do Indonesia)
17.KYOKUSHINKAI (Kyokushinkai Karate-Do Indonesia)
18.LEMKARI (Lembaga Karate-Do Indonesia)
19.PERKAINDO
20.PORBIKAWA
21.PORDIBYA
22.SHINDOKA
23.SHI ROI TE
24.TAKO INDONESIA
25.WADOKAI (Wadoryu Karate-Do Indonesia)
Minggu, 04 Juli 2010
Tingkatan Sabuk
Sabuk kuning (kyu 8). Tingkatan kedua ini melambangkan warna matahari yang diibaratkan bahwa karateka telah melihat “hari baru” dimana dia telah mampu memahami semangat karate, berkembang dalam karakter kepribadiannya dan juga teknik yang telah dipelajari. Sabuk kuning juga merupakan tahapan terakhir dari seorang “raw beginner” dan biasanya sudah mulai belajar tahapan-tahapan gerakan kumite bahkan ada juga yg mulai turun di suatu turnamen
Sabuk hijau (kyu 6). Sabuk ini merepresentasikan warna rumput dan pepohonan. Pemegang sabuk hijau ini sudah harus mampu memahami dan menggali lebih dalam lagi segala sesuatu yang berkaitan dengan karate seiring dengan bertumbuhnya semangat dan teknik gerakan yang sudah dikuasainya. Sifat dari warna hijau ini adalah pertumbuhan dan harmoni. Dengan demikian seorang karateka sabuk hijau diharapkan dalam proses pertumbuhannya mulai bisa memberikan harmoni dan keseimbangan bagi lingkungan.
Sabuk biru (kyu 4). Warna sabuk ini melambangkan samudera dan langit. Artinya karateka harus mempunyai semangat luas seperti angkasa dan sedalam samudera. Karateka harus sudah mampu memulai berani untuk menghadapi tantangan yang dihadapinya dengan semangat tinggi dan berfikir bahwa proses latihan adalah sesuatu yang menyenangkan dan bisa merasakan manfaat yang didapatkan. Karateka harus sudah bisa mengontrol emosi dan berdisiplin.
Sabuk coklat (kyu 3-1). Warna sabuk ini dilambangkan dengan tanah. Sifat warna ini adalah stabilitas dan bobot. Artinya seorang karateka pemegang sabuk coklat mulai dari tingkatan kyu 3 sampai 1 harus bisa memberikan kestabilan sikap, kemampuan yang lebih dari pemegang sabuk di bawahnya, dan juga sikap melindungi bagi junior-juniornya. Selain itu, sikap yang harus dimiliki adalah sikap menjejak bumi (down to earth) dan rendah hati pada sesama.
Sabuk hitam (dan). Warna hitam sendiri melambangkan keteguhan dan sikap kepercayaan diri yang didasari pada nilai kebaikan universal. Warna sabuk ini menjadi idaman bagi setiap karateka untuk mendapatkannya. Namun, di balik semua prestise sabuk hitam terdapat tanggung jawab besar dari karateka. Pada tahap ini, pemegang sabuk hitam mulai dari Dan 1 sampai selanjutnya sebenarnya baru memasuki tahap untuk mendalami karate yang lebih mendalam. Teknik maupun penguasaan makna hakiki dari kebaikan nilai karate sudah harus menjadi bagian dari karateka. (penggambaran Gichin Funakohsi).
Dalam sebagian perguruan karate di Indonesia, sistem peringkat selain sabuk yakni kyu, ada beberapa perbedaan yakni ketika sabuk biru (kyu 4) mengikuti ujian sabuk coklat, penurunan kyu berbeda. Ada yang turun kyu 0,5 derajat menjadi kyu 3,5. Di perguruan lain ada yang langsung menjadi kyu 3. Dengan demikian, bagi sebagian perguruan karate di Indonesia ada yang menerapkan ujian untuk sabuk coklat sebanyak 4 kali (2 tahun atau 4 semester) sampai mendapat kyu 1. Namun bagi sebagian yang lain, bisa hanya sampai 1,5 tahun atau 3 semester.Maka, dalam karate selain sebagai pembeda antara karateka yang baru belajar dengan yang sudah lama menekuni karate, sabuk dipergunakan lebih luas dari itu yakni sebagai proses pendorong bagi karate untuk terus giat belajar dan berlatih. Selain itu juga, bagaimana perbedaan sabuk ini justru menjadi dorongan bagi semua karateka untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Definisi Karate
Tahun 1936 buku Karate-do Kyohan diterbitkan Funakoshi telah menggunakan istilah karate dalam huruf kanji Jepang. Dalam pertemuan bersama para master di Okinawa makna yang sama diambil. Dan sejak saat itu istilah “karate” dengan huruf kanji berbeda namun pengucapan dan makna yang sama digunakan sampai sekarang.
Saat ini istilah karate berasal dari dua kata dalam huruf kanji “kara” yang bermakna kosong dan “te” yang berarti tangan. Karate berarti sebuah seni bela diri yang memungkinkan seseorang mempertahankan diri tanpa senjata.
Menurut Gichin Funakoshi karate mempunyai banyak arti yang lebih condong kepada hal yang bersifat filsafat. Istilah “kara” dalam karate bisa pula disamakan seperti cermin bersih yang tanpa cela yang mampu menampilkan bayangan benda yang dipantulkannya sebagaimana aslinya. Ini berarti orang yang belajar karate harus membersihkan dirinya dari keinginan dan pikiran jahat.
Selanjutnya Gichin Funakoshi menjelaskan makna kata “kara” pada karate mengarah kepada sifat kejujuran, rendah hati dari seseorang. Walaupun demikian sifat kesatria tetap tertanam dalam kerendahan hatinya, demi keadilan berani maju sekalipun berjuta lawan tengah menunggu.
Demikianlah makna yang terkandung dalam karate. Karena itulah seseorang yang belajar karate sepantasnya tidak hanya memperhatikan sisi teknik dan fisik, melainkan juga memperhatikan sisi mental yang sama pentingnya. Seiring usia yang terus bertambah, kondisi fisik akan terus menurun. Namun kondisi mental seorang karateka yang diperoleh lewat latihan yang lama akan membentuk kesempurnaan karakter. Akhiran kata “Do” pada karate-do memiliki makna jalan atau arah. Suatu filosofi yang diadopsi tidak hanya oleh karate tapi kebanyakan seni bela diri Jepang dewasa ini (Kendo, Judo, Kyudo, Aikido, dll).
Materi Teknik
TINGKATAN DALAM KARATE
1 KYU
:
Tingkatan di bawah Sabuk Hitam
2
DAN
:
Tingkatan Sabuk Hitam, dari tingkat pertama sampai DAN 10
3
MUDANSHA
:
Tanpa tingkatan, khusus bagi murid di bawah Sabuk Hitam
4 YUDHANSHA
:
Sabuk Hitam dari pertama sampai DAN 10
KEDUDUKAN PERSONAL
1
DENSHI :
Semua murid-murid tanpa menghiraukann tingkatan
2
KOHAI
:
Murid yunior
3
SENPAI
:
Kakak perguruan senior
4
SENSEI
:
Guru (Sabuk Hitam) yang berkompeten mengajar
5
SHIHAN
:
Master (instruktur) tingkatan yang sangat tinggi, di atas DAN V
TINGKATAN SABUK HITAM
SHODAN : Sabuk Hitam DAN I
NIDAN : Sabuk Hitam DAN II
SANDAN : Sabuk Hitam DAN III
YONDAN : Sabuk Hitam DAN IV
GODAN : Sabuk Hitam DAN V
ROKUDAN : Sabuk Hitam DAN VI
SHICHIDAN : Sabuk Hitam DAN VII
HACHIDAN : Sabuk Hitam DAN VIII
KUDAN : Sabuk Hitam DAN IX
JUDAN : Sabuk Hitam DAN X
ISTILAH dan EKSPRESI
CHUDAN : Tingkat menengah
CHUI : Peringatan
DESHI : Murid
DOJO : Pedepokan
GEDAN : Tingkatan lebih rendah
HAJIME : Mulai
JODAN : Tingkatan lebih tinggi
KATA : Rangkaian gerakan karate
KARATE-GI : Seragam karate
KIAI : Metode yg khas dlm beladiri Jepang
KIHON : Latihan Dasar
KIHON KUMITE : Lawan yg sdh diatur sebelumnya
KIME : Konsentrasi penuh dlm penghimpun tenaga
KUMITE : Perkelahian
MA-AI : Jarak
MAWATE : Berbalik
MAKIWARA : Pemecahan
OSU : Sapaan karateka
SEITO : Murid
SHI-AI : Even
SHOBU : Pertarungan
SHOMEN : Ruang buat tamu khusus
YAME : Berhenti
YOI : Bersiap
ANGKA DALAM BAHASA JEPANG
ICHI : Satu
NI : Dua
SAN : Tiga
SHI : Empat
GO : Lima
ROKU : Enam
SHICI : Tujuh
HACHI : Delapan
KU : Sembilan
JU : Sepuluh
KUDA-KUDA
DACHI : Cara berdiri
FUDO DACHI : Sikap dasar berdiri
HEISUKO DACHI : Sikap berdiri bebas
JIYO DACHI : Berdiri dg sikap bebas
KOKUTSU DACHI : Berdiri membelakangi
MAE DACHI : Berdiri dg mengarah ke depan
NIKO ASHI DACHI : Cat Stance
SANCHIN DACHI : Hour glass stance
ZENKUTSU DACHI : Berdiri mengedepan
Rabu, 20 Januari 2010
KARATE
Karate (空手?) (Japanese pronunciation: [kaɽate] ( listen), English: /kəˈrɑːtiː/) is a martial art developed in the Ryukyu Islands (Okinawa) from indigenous fighting methods called te (手, literally: "hand"?) and Chinese kenpō.[1][2] Karate is a striking art using punching, kicking, knee and elbow strikes, and open-handed techniques such as knife-hands (karate chop). Grappling, locks, restraints, throws, and vital point strikes are taught in some styles.[3] A karate practitioner is called a karateka (空手家?).
Karate developed in the Ryukyu Kingdom prior to its 19th century annexation by Japan. It was brought to the Japanese mainland in the early 20th century during a time of cultural exchanges between the Japanese and the Ryukyuans. In 1922 the Japanese Ministry of Education invited Gichin Funakoshi to Tokyo to give a karate demonstration. Keio University became the first Japanese university to open a dojo (training hall); by 1932, all Japanese universities had a dojo. In this era of escalating Japanese militarism,[4] the name was changed from 唐手 ("Chinese hand") to 空手 ("empty hand") – both of which are pronounced karate – to indicate that the Japanese wished to develop the combat form in Japanese style.[5] After the second world war, Okinawa became an important United States military site and karate became popular among servicemen stationed there.[6]
The martial arts movies of the 1960s and 1970s served to greatly increase its popularity and the word karate began to be used in a generic way to refer to all striking-based Oriental martial arts.[7] Karate schools began appearing across the world, catering to those with casual interest as well as those seeking a deeper study of the art.
Shigeru Egami, Chief Instructor of Shotokan Dojo, opined "that the majority of followers of karate in overseas countries pursue karate only for its fighting techniques...Movies and television...depict karate as a mysterious way of fighting capable of causing death or injury with a single blow...the mass media present a pseudo art far from the real thing."[8] Shoshin Nagamine said "Karate may be considered as the conflict within oneself or as a life-long marathon which can be won only through self-discipline, hard training and one's own creative efforts." [9]
For many practitioners, karate is a deeply philosophical practice. Karate-do teaches ethical principles and can have spiritual significance to its adherents. Gichin Funakoshi ("Father of Modern Karate") titled his autobiography Karate-Do: My Way of Life in recognition of the transforming nature of karate study.
Today karate is practiced for self-perfection, for cultural reasons, for self-defense and as a sport. In 2005, in the 117th IOC (International Olympic Committee) voting, karate did not receive the necessary two thirds majority vote to become an Olympic sport.[10] Web Japan (sponsored by the Japanese Ministry of Foreign Affairs) claims there are 23 million karate practitioners worldwide.[11]
Contents[hide] |
[edit] History
[edit] Okinawa
Karate began as a common fighting system known as te (Okinawan: ti) among the Pechin class of the Ryukyuans. After trade relationships were established with the Ming dynasty of China by King Satto of Chūzan in 1372, some forms of Chinese martial arts were introduced to the Ryukyu Islands by the visitors from China, particularly Fujian Province. A large group of Chinese families moved to Okinawa around 1392 for the purpose of cultural exchange, where they established the community of Kumemura and shared their knowledge of a wide variety of Chinese arts and sciences, including the Chinese martial arts. The political centralization of Okinawa by King Shō Hashi in 1429 and the 'Policy of Banning Weapons,' enforced in Okinawa after the invasion of the Shimazu clan in 1609, are also factors that furthered the development of unarmed combat techniques in Okinawa.[2]
There were few formal styles of te, but rather many practitioners with their own methods. One surviving example is the Motobu-ryū school passed down from the Motobu family by Seikichi Uehara.[12] Early styles of karate are often generalized as Shuri-te, Naha-te, and Tomari-te, named after the three cities from which they emerged.[13] Each area and its teachers had particular kata, techniques, and principles that distinguished their local version of te from the others.
Members of the Okinawan upper classes were sent to China regularly to study various political and practical disciplines. The incorporation of empty-handed Chinese wu shu into Okinawan martial arts occurred partly because of these exchanges. Traditional karate kata bear a strong resemblance to the forms found in Fujian martial arts such as Fujian White Crane, Five Ancestors, and Gangrou-quan (Hard Soft Fist; pronounced "Gōjūken" in Japanese).[14] Further influence came from Southeast Asia— particularly Sumatra, Java, and Melaka[citation needed]. Many Okinawan weapons such as the sai, tonfa, and nunchaku may have originated in and around Southeast Asia.
Sakukawa Kanga (1782–1838) had studied pugilism and staff (bo) fighting in China (according to one legend, under the guidance of Kosokun, originator of kusanku kata). In 1806 he started teaching a fighting art in the city of Shuri that he called "Tudi Sakukawa," which meant "Sakukawa of China Hand." This was the first known recorded reference to the art of "Tudi," written as 唐手. Around the 1820s Sakukawa's most significant student Matsumura Sōkon (1809–1899) taught a synthesis of te (Shuri-te and Tomari-te) and Shaolin (Chinese 少林) styles. Matsumura's style would later become the Shōrin-ryū style.
Matsumura taught his art to Itosu Ankō (1831–1915) among others. Itosu adapted two forms he had learned from Matsumara. These are kusanku and chiang nan. He created the ping'an forms ("heian" or "pinan" in Japanese) which are simplified kata for beginning students. In 1901 Itosu helped to get karate introduced into Okinawa's public schools. These forms were taught to children at the elementary school level. Itosu's influence in karate is broad. The forms he created are common across nearly all styles of karate. His students became some of the most well known karate masters, including Gichin Funakoshi, Kenwa Mabuni, and Motobu Chōki. Itosu is sometimes referred to as "the Grandfather of Modern Karate."[15]
In 1881 Higaonna Kanryō returned from China after years of instruction with Ryu Ryu Ko and founded what would become Naha-te. One of his students was the founder of Gojū-ryū, Chōjun Miyagi. Chōjun Miyagi taught such well-known karateka as Seko Higa (who also trained with Higaonna), Meitoku Yagi, Miyazato Ei'ichi, and Seikichi Toguchi, and for a very brief time near the end of his life, An'ichi Miyagi (a teacher claimed by Morio Higaonna).
In addition to the three early te styles of karate a fourth Okinawan influence is that of Kanbun Uechi (1877–1948). At the age of 20 he went to Fuzhou in Fujian Province, China, to escape Japanese military conscription. While there he studied under Shushiwa. He was a leading figure of Chinese Nanpa Shorin-ken at that time.[16] He later developed his own style of Uechi-ryū karate based on the Sanchin, Seisan, and Sanseiryu kata that he had studied in China.[17]
[edit] Japan
Gichin Funakoshi, founder of Shotokan karate, is generally credited with having introduced and popularized karate on the main islands of Japan. Actually many Okinawans were actively teaching, and are thus equally responsible for the development of karate. Funakoshi was a student of both Asato Ankō and Itosu Ankō (who had worked to introduce karate to the Okinawa Prefectural School System in 1902). During this time period, prominent teachers who also influenced the spread of karate in Japan included Kenwa Mabuni, Chōjun Miyagi, Motobu Chōki, Kanken Tōyama, and Kanbun Uechi. This was a turbulent period in the history of the region. It includes Japan's annexation of the Okinawan island group in 1872, the First Sino-Japanese War (1894–1895), the Russo-Japanese War (1904–1905), the annexation of Korea, and the rise of Japanese militarism (1905–1945).
Japan was invading China at the time, and Funakoshi knew that the art of Tang/China hand would not be accepted; thus the change of the art's name to "way of the empty hand." The dō suffix implies that karatedō is a path to self knowledge, not just a study of the technical aspects of fighting. Like most martial arts practiced in Japan, karate made its transition from -jutsu to -dō around the beginning of the 20th century. The "dō" in "karate-dō" sets it apart from karate-jutsu, as aikido is distinguished from aikijutsu, judo from jujutsu, kendo from kenjutsu and iaido from iaijutsu.
Funakoshi changed the names of many kata and the name of the art itself (at least on mainland Japan), doing so to get karate accepted by the Japanese budō organization Dai Nippon Butoku Kai. Funakoshi also gave Japanese names to many of the kata. The five pinan forms became known as heian, the three naihanchi forms became known as tekki, seisan as hangetsu, Chintō as gankaku, wanshu as empi, and so on. These were mostly political changes, rather than changes to the content of the forms, although Funakoshi did introduce some such changes. Funakoshi had trained in two of the popular branches of Okinawan karate of the time, Shorin-ryū and Shōrei-ryū. In Japan he was influenced by kendo, incorporating some ideas about distancing and timing into his style. He always referred to what he taught as simply karate, but in 1936 he built a dojo in Tokyo and the style he left behind is usually called Shotokan after this dojo.
The modernization and systemization of karate in Japan also included the adoption of the white uniform that consisted of the kimono and the dogi or keikogi—mostly called just karategi—and colored belt ranks. Both of these innovations were originated and popularized by Jigoro Kano, the founder of judo and one of the men Funakoshi consulted in his efforts to modernize karate.
In 1922, Hironori Ohtsuka attended the Tokyo Sports Festival, where he saw Funakoshi's karate. Ohtsuka was so impressed with this that he visited Funakoshi many times during his stay. Funakoshi was, in turn, impressed by Ohtsuka's enthusiasm and determination to understand karate, and agreed to teach him. In the following years, Ohtsuka set up a medical practice dealing with martial arts injuries. His prowess in martial arts led him to become the Chief Instructor of Shindō Yōshin-ryū jujutsu at the age of 30, and an assistant instructor in Funakoshi's dojo.
By 1929, Ohtsuka was registered as a member of the Japan Martial Arts Federation. Okinawan karate at this time was only concerned with kata. Ohtsuka thought that the full spirit of budō, which concentrates on defence and attack, was missing, and that kata techniques did not work in realistic fighting situations. He experimented with other, more combative styles such as judo, kendo, and aikido. He blended the practical and useful elements of Okinawan karate with traditional Japanese martial arts techniques from jujitsu and kendo, which led to the birth of kumite, or free fighting, in karate. Ohtsuka thought that there was a need for this more dynamic type of karate to be taught, and he decided to leave Funakoshi to concentrate on developing his own style of karate: Wadō-ryū. In 1934, Wadō-ryū karate was officially recognized as an independent style of karate. This recognition meant a departure for Ohtsuka from his medical practice and the fulfilment of a life's ambition—to become a full-time martial artist.
Ohtsuka's personalized style of Karate was officially registered in 1938 after he was awarded the rank of Renshi-go. He presented a demonstration of Wadō-ryū karate for the Japan Martial Arts Federation. They were so impressed with his style and commitment that they acknowledged him as a high-ranking instructor. The next year the Japan Martial Arts Federation asked all the different styles to register their names; Ohtsuka registered the name Wadō-ryū. In 1944, Ohtsuka was appointed Japan's Chief Karate Instructor.
Isshin-ryū is a style of Okinawan karate founded by Shimabuku Tatsuo, a student of Motobu Chōki, and named by him on January 15, 1956. Isshin-ryū karate is largely a synthesis of Shorin-ryū karate, Gojū-ryū karate, and Kobudō. The name means, literally, "one heart method." The style, while not very popular in Okinawa, spread to the United States via the Marines stationed on the island after they returned home, and has also spread to other countries. After the passing of Shimabuku, many variations of the system formed and exist to this day.
A new form of karate called Kyokushin was formally founded in 1957 by Masutatsu Oyama (who was born a Korean, Choi Yeong-Eui). Kyokushin is largely a synthesis of Shotokan and Gōjū-ryū. It teaches a curriculum that emphasizes contact, physical toughness, and full contact sparring. Because of its emphasis on physical, full-force sparring, Kyokushin is now often called "full contact karate", or "Knockdown karate" (after the name for its competition rules). Many other karate organizations and styles are descended from the Kyokushin curriculum.
The World Karate Federation recognizes these styles of karate in its kata list
- Shōtōkan-ryū
- Shitō-ryū
- Gōjū-ryū
- Wadō-ryū
The World Union of Karate-do Organizations (WUKO)[18] recognizes these styles of karate in its kata list.
Many schools would be affiliated with, or heavily influenced by, one or more of these styles.
[edit] Practice
Karate can be practiced as an art (budō), as a sport, as a combat sport, or as self defense training. Traditional karate places emphasis on self development (budō).[19] Modern Japanese style training emphasizes the psychological elements incorporated into a proper kokoro (attitude) such as perseverance, fearlessness, virtue, and leadership skills. Sport karate places emphasis on exercise and competition. Weapons (kobudō) is important training activity in some styles.
Karate training is commonly divided into kihon (basics or fundamentals), kata (forms), and kumite (sparring).
[edit] Kihon
Karate styles place varying importance on kihon. Typically this is performance in unison of a technique or a combination of techniques by a group of karateka. Kihon may also be prearranged drills in smaller groups or in pairs.
[edit] Kata
Kata (型: かた) means literally "shape" or "model." Kata is a formalized sequence of movements which represent various attack and defense postures. These postures are based on idealized combat applications.
Some kata use low and wide stances. This practice develops leg strength, correct posture, and gracefulness. Vigorous arm movements enhance cardiovascular fitness and upper body strength. Kata vary in number of movements and difficulty. The longer kata require the karateka to learn many complex movements. Diligent training and correct mindfulness lead to real understanding of combat principles.
Physical routines were a logical way to preserve this type of knowledge. The various moves have multiple interpretations and applications. Because the applicability for actual self-defense is so flexible there is no definitively correct way to interpret all kata. That is why only high ranking practitioners are qualified to judge adequate form for their own style. Some of the criteria for judging the quality of a performance are: Absence of missteps; correct beginning and especially ending; crispness and smoothness; correct speed and power; confidence; and knowledge of application. Kata with the same name are often performed differently in other styles of karate. Kata are taught with minor variations among schools of the same style. Even the same instructor will teach a particular kata slightly differently as the years pass.
To attain a formal rank the karateka must demonstrate competent performance of specific required kata for that level. The Japanese terminology for grades or ranks is commonly used. Requirements for examinations vary among schools.
[edit] Kumite
Sparring in Karate is called kumite (組手:くみて). It literally means "meeting of hands." Kumite is practiced both as a sport and as self-defense training.
Levels of physical contact during sparring vary considerably. Full contact karate has several variants. Knockdown karate (such as Kyokushin) uses full power techniques to bring an opponent to the ground. In Kickboxing variants ( for example K-1), the preferred win is by knockout. Sparring in armour (bogu kumite) allows full power techniques with some safety. Sport kumite in many international competition under the World Karate Federation is free or structured with light contact or semi contact and points are awarded by a referee.
In structured kumite (Yakusoku - prearranged), two participants perform a choreographed series of techniques with one striking while the other blocks. The form ends with one devastating technique (Hito Tsuki).
In free sparring (Jiyu Kumite), the two participants have a free choice of scoring techniques. The allowed techniques and contact level are primarily determined by sport or style organization policy, but might be modified according to the age, rank and sex of the participants. Depending upon style, take-downs, sweeps and in some rare cases even time-limited grappling on the ground are also allowed.
Free sparring is performed in a marked or closed area. The bout runs for a fixed time (2 to 3 minutes.) The time can run continuously (Iri Kume) or be stopped for referee judgment. In light contact or semi contact kumite, points are awarded based on the criteria: good form, sporting attitude, vigorous application, awareness/zanshin, good timing and correct distance.[20] In full contact karate kumite, points are based on the results of the impact, rather than the formal appearance of the scoring technique.
[edit] Dojo Kun
In the bushidō tradition dojo kun is a set of guidelines for karateka to follow. These guidelines apply both in the dojo (training hall) and in everyday life.
[edit] Conditioning
Okinawan karate uses supplementary training known as hojo undo. This utilizes simple equipment made of wood and stone. The makiwara is a striking post. The nigiri game is a large jar used for developing grip strength. These supplementary exercises are designed to increase strength, stamina, speed, and muscle coordination.[21] Sport Karate emphasises aerobic exercise, anaerobic exercise, power, agility, flexibility, and stress management.[22] All practices vary depending upon the school and the teacher.
[edit] Sport
Gichin Funakoshi (船越 義珍) said, "There are no contests in karate."[23] In pre-World War II Okinawa, kumite was not part of karate training.[24] Shigeru Egami relates that, in 1940, some karateka were ousted from their dojo because they adopted sparring after having learned it in Tokyo.[25]
Karate is divided into style organizations. These organizations sometimes cooperate in non-style specific sport karate organizations or federations. Examples of sport organizations are AAKF/ITKF, AOK, TKL, AKA, WKF, WUKO and WKC [26]. Organizations hold competitions (tournaments) from local to international level. Tournaments are designed to match members of opposing schools or styles against one another in kata, sparring and weapons demonstration. They are often separated by age, rank and sex with potentially different rules or standards based on these factors. The tournament may be exclusively for members of a particular style (closed) or one in which any martial artist from any style may participate within the rules of the tournament (open). Some style organizations, like kyokushinkai and Shotokan prefer to stay within their own system and compete with their own rules.
The World Karate Federation (WKF) is the largest sport karate organization, and it is recognized by the International Olympic Committee (IOC) as being responsible for karate competition in the Olympic games. The WKF has developed common rules governing all styles. The national WKF organisations coordinate with their respective National Olympic Committees.
Karate does not have 2012 Olympic status. In the 117th IOC Session (July 2005), karate received more than half of the votes, but not the two-thirds majority needed to become an official Olympic sport.
WKF karate competition has two disciplines: sparring (kumite) and forms (kata) Competitors may enter either as individuals or as part of a team. Evaluation for kata and kobudō is performed by a panel of judges, whereas sparring is judged by a head referee, usually with assistant referees at the side of the sparring area. Sparring matches are typically divided by weight, age, gender, and experience.
The WKF accepts only one organization per country. The World Union of Karate-do Organizations (WUKO)[27] offers different styles and federations a world body they may join, without having to compromise their style or size. The WUKO accepts more than one federation or association per country.
Different karate style and sport organizations use different competition rule systems, ranging from light contact as used in the WKF, WUKO and WKC kumite rule sets, to full contact karate as seen in the Knockdown karate rules variations used by the Kyokushinkai, Ashihara karate, Shidokan, Seidokaikan and many other style organizations. Or the Bogu kumite rules variant known as Koshiki karate (full contact with protective padding) used in the All Japan Koshiki Karate-Do Federation [28] sport organization. Still other sport organizations like the Shinkaratedo Federation [29] in Japan, use Gloved karate rules (called so because they wear boxing gloves) that resembles kickboxing. Within the United States, rules may still be under some jurisdiction from state sports authorities, such as the state boxing commission.
[edit] Rank
In 1924 Gichin Funakoshi, founder of Shotokan Karate, adopted the Dan system from judo founder Jigoro Kano[30] using a rank scheme with a limited set of belt colors. Other Okinawan teachers also adopted this practice. In the Kyū/Dan system the beginner grades start with a higher numbered kyū (e.g., 9th Kyū) and progress toward a lower numbered kyū. The Dan progression continues from 1st Dan (Shodan, or 'beginning dan') to the higher dan grades. Kyū-grade karateka are referred to as "color belt" or mudansha ("ones without dan/rank"). Dan-grade karateka are referred to as yudansha (holders of dan/rank). Yudansha typically wear a black belt. Requirements of rank differ among styles, organizations, and schools. Kyū ranks stress stance, balance, and coordination. Speed and power are added at higher grades. Minimum age and time in rank are factors affecting promotion. Testing consists of demonstration of techniques before a panel of examiners. This will vary by school, but testing may include everything learned at that point, or just new information. The demonstration is an application for new rank (shinsa) and may include kata, bunkai, self-defense, routines, tameshiwari (breaking), and/or kumite (sparring). Black belt testing may also include a written examination.
[edit] Dishonest practice
Due to the popularity of martial arts, both in mass media and reality, a large number of disreputable, fraudulent, or misguided teachers and schools have arisen, approximately over the last 40 years. Commonly referred to as a "McDojo"[31] or a "Black Belt Mill," these schools are commonly headed by martial artists of either dubious skill or business ethics.
[edit] Philosophy
Gichin Funakoshi interpreted the "kara" of Karate-dō to mean "to purge [oneself] of selfish and evil thoughts. For only with a clear mind and conscience can [the practitioner] understand that [knowledge] which he receives." Funakoshi believed that one should be "inwardly humble and outwardly gentle." Only by behaving humbly can one be open to Karate's many lessons. This is done by listening and being receptive to criticism. He considered courtesy of prime importance. He said that "Karate is properly applied only in those rare situations in which one really must either down another or be downed by him." Funakoshi did not consider it unusual for a devotee to use Karate in a real physical confrontation no more than perhaps once in a lifetime. He stated that Karate practitioners must "never be easily drawn into a fight." It is understood that one blow from a real expert could mean death. It is clear that those who misuse what they have learned bring dishonor upon themselves. He promoted the character trait of personal conviction. In "time of grave public crisis, one must have the courage...to face a million and one opponents." He taught that indecisiveness is a weakness.[32]
[edit] Etymology
Hypothetically, any unarmed combat system could accurately be called "karate" since the Japanese phrase literally means "empty hand." This is not necessarily an acceptable conclusion. To separate fact from fancy requires understanding issues of nationalism, lineage, primacy, and philosophy.
[edit] Chinese Hand
Karate was originally written as Chinese hand in kanji. It was later changed to a homophone meaning empty hand. The original use of the word karate in print is attributed to Ankō Itosu. He wrote it with the kanji 唐手:からて (Tang Dynasty hand) rather than the present usage of 空手:からて (empty hand). The Tang Dynasty of China ended in AD 907. The kanji representing it remained in use in Okinawa as a way to refer to China generally.[33] Thus the word karate was originally a way of expressing "Chinese hand," or "martial art from China."
Since there are no written records it is not known definitely whether the kara in karate was originally written with the character 唐 meaning China or the character 空 meaning empty. During the time when admiration for China and things Chinese was at its height in the Ryūkyūs it was the custom to use the former character when referring to things of fine quality...
It should be noted that use of the written character is possibly linked to the origins of karate from China.
[edit] Empty Hand
The original use of "Chinese hand," "Tang hand," “Chinese fist,” or "Chinese techniques" (depending on interpretation of 唐手) reflects the documented Chinese influence on karate. The first documented use of a homophone of the logogram pronounced kara by replacing the character meaning Tang Dynasty (唐 から) with the character meaning empty (空 から) took place in Karate Kumite. This is a book by Hanashiro Chōmo (1869–1945) which was published in August 1905. In the early 20th century Japan did not have good relations with China. In 1932 Japan attacked China and occupied its northern territory. At that time referring to Chinese origins of karate was considered politically incorrect.[34]
In 1933, the Okinawan art of karate was recognized as a Japanese martial art by the Japanese Martial Arts Committee known as the "Butoku Kai". Until 1935, "karate" was written as "唐手" (Chinese hand). But in 1935, the masters of the various styles of Okinawan karate conferred to decide a new name for their art. They decided to call their art "karate" written in Japanese characters as "空手" (empty hand).[13]
[edit] Nomenclature
Another nominal development is the addition of dō (道:どう) to the end of the word karate. Dō is a suffix having numerous meanings including road, path, route, and way. It is used in many martial arts that survived Japan's transition from feudal culture to modern times. It implies that these arts are not just fighting systems but contain spiritual elements when promoted as disciplines. In this context dō is usually translated as "the way of." Examples are aikido (合気道:あいきどう), judo (柔道:じゅうどう), and kendo (剣道:けんどう). Thus karatedō is more than just empty hand techniques. It is The Way Of The Empty Hand.
[edit] Karate outside Japan
[edit] Canada
Karate began in Canada in the 1930s and 1940s as Japanese people immigrated to the country. Karate was practiced quietly without a large amount of organization. During the second World War, many Japanese-Canadian families were moved to the interior of British Columbia. Masaru Shintani, at the age of 13, began to study Shorin-Ryu karate in the Japanese camp under Kitigawa. In 1956 after 9 years of training with Kitigawa, Shintani traveled to Japan and met Hironori Otsuka (Wado Ryu). In 1958 Otsuka invited Shintani to join his organization Wado Kai, and in 1969 he asked Shintani to officially call his style Wado.[35]
In Canada during this same time, karate was also introduced by Masami Tsuruoka who had studied in Japan in the 1940s under Tsuyoshi Chitose. In 1954 Tsuruoka initiated the first karate competition in Canada and laid the foundation for the National Karate Association.
In the late 1950s Shintani moved to Ontario and began teaching karate and judo at the Japanese Cultural Center in Hamilton. In 1966 he began (with Otsuka's endorsement) the Shintani Wado Kai Karate Federation. During the 1970s Otsuka appointed Shintani the Supreme Instructor of Wado Kai in North America. In 1979, Otsuka publicly promoted Shintani to hachidan (8th dan) and privately gave him a kudan certificate (9th dan), which was revealed by Shintani in 1995. Shintani and Otsuka visited each other in Japan and Canada several times, the last time in 1980 two years prior to Otsuka's death. Shintani died May 7, 2000.[35]
[edit] Korea
Due to past conflict between Korea and Japan, most notably during the Japanese occupation in the 20th century, the influence of karate on Korean martial arts is a contentious issue. From 1910 until 1939, many Koreans migrated to Japan[36] and were exposed to Japanese martial arts. After regaining independence from Japan, many Korean martial arts schools were founded by masters with training in Chinese, Japanese, and Korean martial arts.
For example, Choi Hong Hi, a significant figure in taekwondo history, studied Shotokan karate in Japan.[37] Karate also provided an important comparative model for the early founders of taekwondo in the formalization of their art inheriting some kata and the belt rank system. It should be noted that contemporary taekwondo is technically very different from karate (e.g. relies much more on legs than hands, involves more high kicks, more jumps, etc).
[edit] Soviet Union
Karate appeared in the Soviet Union in the mid-1960s, during Khruschev's policy of improved international relations. The first Shotokan clubs were opened in Moscow's universities.[38] In 1973, however, the government banned karate—together with all other foreign martial arts—endorsing only the Soviet martial art of sambo. Failing to suppress these uncontrolled groups, the USSR's Sport Committee formed the Karate Federation of USSR in December 1978.[38] On 17 May 1984, the Soviet Karate Federation was disbanded and all karate became illegal again. In 1989, karate practice became legal again, but under strict government regulations, only after the dissolution of the Soviet Union in 1992 did independent karate schools resume functioning, and so federations were formed and national tournaments in authentic styles began.[39]
[edit] United Kingdom
In the 1950s and 1960s, several Japanese karate masters began to teach the art in the United Kingdom. In 1965, Tatsuo Suzuki began teaching Wadō-ryū in London. In 1966, members of the former British Karate Federation established the Karate Union of Great Britain (KUGB) under Hirokazu Kanazawa as chief instructor[40] and affiliated to JKA. Keinosuke Enoeda came to England at the same time as Kanazawa, teaching at a dojo in Liverpool. Kanazawa left the UK after 3 years and Enoeda took over. After Enoeda’s death in 2003, the KUGB elected Andy Sherry as Chief Instructor. Shortly after this, a new association split off from KUGB, JKA England.
An earlier significant split from the KUGB took place in 1991 when a group lead by KUGB senior instructor Steve Cattle formed the English Shotokan Academy [3](ESA). The aim of this group was to follow the teachings of Taiji Kase, formerly the JKA chief instructor in Europe, who along with Hiroshi Shirai created the World Shotokan Karate-do Academy (WKSA), in 1989 in order to pursue the teaching of “Budo” karate as opposed to what he viewed as “sport karate”. Kase sought to return the practice of Shotokan Karate to its martial roots, reintroducing amongst other things open hand and throwing techniques that had been side lined as the result of competition rules introduced by the JKA. Both the ESA and the WKSA (re-named the Kase-Ha Shotokan-Ryu Karate-do Academy[4] (KSKA) after Kase’s death in 2004) continue following this path today.
[edit] United States
After World War II, members of the US military learned karate in Okinawa or Japan and then opened schools in the USA. In 1945 Robert Trias opened the first dojo in the United States in Phoenix, Arizona, a Shuri-ryū karate dojo. In the 1950s, Edward Kaloudis, William Dometrich (Chitō-ryū), Ed Parker (Kenpo), Cecil Patterson (Wadō-ryū), Gordon Doversola (Okinawa-te), Louis Kowlowski, Don Nagle (Isshin-ryū), George Mattson (Uechi-ryū), Paul Arel (Sankata, Kyokushin, and Kokondo) and Peter Urban (Gōjū-kai) all began instructing in the US.
Tsutomu Ohshima began studying karate while a student at Waseda University, beginning in 1948, and became captain of the university's karate club in 1952. He trained under Shotokan's founder, Gichin Funakoshi, until 1953. Funakoshi personally awarded Ohshima his sandan (3rd degree black belt) rank in 1952. In 1957 Ohshima received his godan (fifth degree black belt), the highest rank awarded by Funakoshi. This remains the highest rank in SKA. In 1952, Ohshima formalized the judging system used in modern karate tournaments. However, he cautions students that tournaments should not be viewed as an expression of true karate itself.
Ohshima left Japan in 1955 to continue his studies at UCLA. He led his first U.S. practice in 1956 and founded the first university karate club in the United States at Caltech in 1957. In 1959 he founded the Southern California Karate Association (SCKA), as additional Shotokan dojos opened. The organization was renamed Shotokan Karate of America in 1969.
In the 1960s, Jay Trombley (Gōjū-ryū), Anthony Mirakian (Gōjū-ryū), Steve Armstrong, Bruce Terrill, Richard Kim (Shorinji-ryū), Teruyuki Okazaki (Shotokan), John Pachivas, Allen Steen, Sea Oh Choi (Hapkido), Gosei Yamaguchi (Gōjū-ryū), and J. Pat Burleson all began teaching martial arts around the country.[41]
In 1961 Hidetaka Nishiyama, a co-founder of the JKA and student of Masatoshi Nakayama, began teaching in the United States.[42] Takayuki Mikami were sent to New Orleans by the JKA in 1963.[43]
In 1964, Takayuki Kubota, founder of Gosoku-ryū, relocated the International Karate Association from Tokyo to California.
Seido Karate was founded by Tadashi Nakamura
In 1970 Paul Arel founded Kokondo Karate which is a sister style of Jukido Jujitsu developed in 1959. Kokondo synthesized techniques and kata from Arel's previous experience in Isshin Ryu, Sankata & Kyokushin Karate.
[edit] Film and popular culture
Karate spread rapidly in the West through popular culture. In 1950s popular fiction, karate was at times described to readers in near-mythical terms, and it was credible to show Western experts of unarmed combat as unaware of Eastern martial arts of this kind.[44] By the 1970s, martial arts films had formed a mainstream genre that propelled karate and other Asian martial arts into mass popularity.
- The Karate Kid (1984) is a film relating the fictional story of an American adolescent's introduction into karate.
- Chuck Norris: Karate Kommandos(1986), animated children's show, with Chuck Norris himself appearing to reveal the episode and the moral contained in the episode.
Practitioner | Fighting style |
---|---|
Sonny Chiba | Gōjū-ryū and Kyokushin |
Sean Connery | Kyokushin |
Fumio Demura | Shitō-ryū |
Dolph Lundgren | Kyokushin |
Jean-Claude Van Damme | Shotokan |
Michael Jai White | Kyokushin, Shotokan, and Gōjū-ryū |
Richard Norton | Gōjū-ryū |
Cynthia Luster | Gōjū-ryū |
Wesley Snipes | Shotokan |
Glen Murphy | kyokushin |
[edit] Mixed martial arts
Karate is practiced by some mixed martial arts fighters.
[edit] See also
Wikimedia Commons has media related to: Karate |
- Comparison of karate styles
- Japanese martial arts
- American Karate
- Karate stances
- Karate kata
- Okinawan martial arts
- List of martial arts
- Karate chop
- Karategi
- Full contact karate
[edit] References
- ^ a b c Higaonna, Morio (1985). Traditional Karatedo Vol. 1 Fundamental Techniques. pp. 17. ISBN 0-87040-595-0.
- ^ a b c d http://www.wonder-okinawa.jp/023/eng/001/001/index.html history of Okinawan Karate
- ^ Bishop, Mark (1989). Okinawan Karate. pp. 153–166. ISBN 0-7136-5666-2. Chapter 9 covers Motobu-ryu and Bugeikan, two 'ti' styles with grappling and vital point striking techniques. Page 165, Seitoku Higa: "Use pressure on vital points, wrist locks, grappling, strikes and kicks in a gentle manner to neutralize an attack."
- ^ Miyagi, Chojun (1993) [1934]. McCarthy, Patrick. ed. Karate-doh Gaisetsu [An Outline of Karate-Do]. pp. 9. ISBN 4-900613-05-3.
- ^ Draeger & Smith (1969). Comprehensive Asian Fighting Arts. pp. 60. ISBN 978-0-87011-436-6.
- ^ Bishop, Mark (1999). Okinawan Karate Second Edition. pp. 11. ISBN 978-0-8048-3205-2.
- ^ Dr. Gary J. Krug: the Feet of the Master: Three Stages in the Appropriation of Okinawan Karate Into Anglo-American Culture
- ^ Shigeru, Egami (1976). The Heart of Karate-Do. pp. 13. ISBN 0-87011-816-1.
- ^ Nagamine, Shoshin (1976). Okinawan Karate-do. pp. 47. ISBN 978-0-8048-2110-0.
- ^ News from the 117th IOC
- ^ Web Japan
- ^ Bishop, Mark (1989). Okinawan Karate. pp. 154. ISBN 0-7136-5666-2. Motobu-ryū & Seikichi Uehara
- ^ a b Higaonna, Morio (1985). Traditional Karatedo Vol. 1 Fundamental Techniques. pp. 19. ISBN 0-87040-595-0.
- ^ Bishop, Mark (1989). Okinawan Karate. pp. 28. ISBN 0-7136-5666-2. For example Chōjun Miyagi adapted Rokkushu of White Crane into Tenshō
- ^ Patrick McCarthy, footnote #4
- ^ Kanbun Uechi history
- ^ Hokama, Tetsuhiro (2005). 100 Masters of Okinawan Karate. Okinawa: Ozata Print. pp. 28.
- ^ WUKO World Union of Karate-do Organizations
- ^ International Traditional Karate Federation (ITKF)
- ^ World Karate Federation Competition Rules
- ^ Higaonna, Morio (1985). Traditional Karatedo Vol. 1 Fundamental Techniques. pp. 67. ISBN 0-87040-595-0.
- ^ Mitchell, David (1991). Winning Karate Competition. ISBN 0-7136-3402-2 pages = 25.
- ^ Shigeru, Egami (1976). The Heart of Karatedo. pp. 111. ISBN 0-87011-816-1.
- ^ Higaonna, Morio (1990). Traditional Karatedo Vol. 4 Applications of the Kata. pp. 136. ISBN 0-87040-848-9.
- ^ Shigeru, Egami (1976). The Heart of Karatedo. pp. 113. ISBN 0-87011-816-1.
- ^ World Karate Confederation
- ^ WUKO - World Union of Karate-Do Organizations
- ^ http://www.koshiki.org/ World Koshiki Karatedo Federation
- ^ Shinkaratedo Renmei
- ^ Hokama, Tetsuhiro (2005). 100 Masters of Okinawan Karate. Okinawa: Ozata Print. pp. 20.
- ^ [1] A Chronological History of the Martial Arts: Douglas Coupland's novel Generation X, which defined McJob as "a low-pay, low prestige, low-dignity, low benefit, no-future job in the service sector," appears in paperback, and within weeks, the term "McDojo" appeared at rec.martial-arts as a description of franchise martial art schools run by people with more ego than talent.
- ^ Funakoshi, Gichin. "Karate-dō Kyohan - The Master Text" Tokyo. Kodansha International; 1973.
- ^ [2] Names of China
- ^ http://www.newpaltzkarate.com/article/Article1SA.html, Levitz, Maurey (1998) What's In A Name? How the meaning of the term karate has changed, New Paltz Karate Academy, Inc.
- ^ a b Robert, T. (2006). "no title given". Journal of Asian Martial Arts (this issue is not available as a back issue) 15 (4). http://journalofasianmartialarts.com/cms2/journal-issues/15.html.
- ^ Nozaki, Yoshiko; Hiromitsu Inokuchi, Tae-young Kim. "Legal Categories, Demographic Change and Japan’s Korean Residents in the Long Twentieth Century". http://www.japanfocus.org/products/details/2220. Retrieved 2007-02-19.
- ^ "A History Of Taekwon Do". http://utf.whsites.net/history.htm. Retrieved 2008-06-30.
- ^ a b karate-shotokan.net
- ^ "History of Shotokan (Russian)". http://karate-shotokan.net/php/his.php. Retrieved 2007-05-15.
- ^ International Association of Shotokan Karate (IASK)
- ^ The Original Martial Arts Encyclopedia, John Corcoran and Emil Farkas, pgs. 170-197
- ^ nishiyama
- ^ All Gojuryu NetworkAll South Karate
- ^ For example, Ian Fleming's book Goldfinger (1959, p.91-95) describes the protagonist James Bond, an expert in unarmed combat, as utterly ignorant of Karate and its demonstrations, and describes the Korean 'Oddjob' in these terms: Goldfinger said, "Have you ever heard of Karate? No? Well that man is one of the three in the world who have achieved the Black Belt in Karate. Karate is a branch of judo, but it is to judo what a spandau is to a catapult...". Such a description in a popular novel assumed and relied upon Karate being almost unknown in the West.