Tarung Derajat

Drs. H. Achmad Dradjat

Berawal dari pengalaman yang tidak menyenangkan dan perjuangan hidup yang keras, AA Boxer panggilan akrab dari Drs. Achmad Drajat selalu mencoba untuk mempertahankan diri dari segala bentuk perkelahian yang kerap dialaminya pada masa muda dahulu. Memang menurutnya pada tahun 1960 an, di lingkungan tempat tinggalnya, AA Boxer sering mendapat tekanan-tekanan yang pada akhirnya terjadi bentrokan secara fisik. Tempat tinggalnya yang terbilang rawan pada masa itu, selalu menjadi tempat perkelahian antar kelompok, bahkan dirinya menjadi ikut terlibat, bukan AA Boxer yang memulai, tetapi timbul dari keadaan yang terpaksa.

Pengalaman hidup yang selalu tidak menyenangkan ini telah membekas pada dirinya. "Dari bosan kalah itulah timbul niat untuk menciptakan beladiri", Akhirnya ia mencoba menciptakan teknik-teknik beladiri yang praktis untuk dapat mengangkat kembali kehormatan dirinya agar tidak selalu menjadi bulan-bulanan lawannya yang bertubuh besar. Setelah ditelaah ternyata dalam perkelahian yang selalu dialaminya, ia menemukan 4 unsur gerakan, yaitu memukul, menendang, menangkis/mengelak dan membanting. Dalam benaknya timbul, "Kalau ingin menang dalam berkelahi harus mempunyai cara untuk memukul, menendang, menangkis/mengelak, dan membanting sendiri yang tidak dimiliki oleh orang lain". Dari sini diproses, karena pada dasarnya tangan dapat digerakkan secara alamiah sesuai dengan fungsi dan kebutuhannya. Semangat dan ketekunan telah membentuk dirinya menjadi mahir untuk membela diri. Kematangan dalam beladiri semakin bertambah tatkala ada orang yang dengan sengaja ingin mencoba dan mengajak beradu fisik. Bahkan memberanikan diri untuk melindungi orang yang merasa tertindas atau disakiti oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Sejak itu, beberapa pemuda berdatangan ingin mempelajari ilmu beladiri yang dimilikinya. Pada saat inilah panggilan dan julukan AA BOXER mulai melekat pada dirinya. Awalnya, AA Boxer tidak berkeinginan untuk mengajari orang untuk beladiri. Ia menciptakan beladiri hanya untuk dirinya sendiri dan tidak mempunyai jurus/gerakan yang baku, tetapi karena beberapa orang tetap memaksa untuk diajarkan beladiri, mulailah mereka diberikan pelajaran ilmu beladiri hasil jerih payahnya. Ini terjadi pada tahun 1968 yang pada saat itu, AA Boxer baru berusia 18 tahun.

Dari beberapa orang, kemudian menyebar dan tumbuh cukup pesat, seperti bola es yang menggelinding makin lama makin besar. Timbul pemikiran untuk membentuk suatu wadah perkumpulan yang mempunyai nama, lahirlah beladiri itu secara ilmiah dari nama panggilan sehari-hari, AA BOXER. Tepatnya tahun 1972, beladiri yang diciptakannya kini sudah memiliki nama. Perjalanan mengajar dan melatih, tumbuh berkembang sampai timbul permintaan untuk mengajar di daerah lain. Renungan dari pengalaman hidup yang diderita dan dijalaninya dengan penuh kesabaran dan tawakal telah menjadikan dirinya tegar dan menumbuhkan rasa percaya diri serta menanamkan keyakinan yang semakin mantap. Perlahan-lahan ditata dan ditinjau kembali teknik dan gerakan yang sudah diciptakan, sehingga kian hari beladiri yang lahir secara alamiah ini mulai menemukan bentuknya. Teknik-teknik yang diyakininya sudah baik mulai dibakukan. Konsepnya untuk menciptakan beladiri yang praktis dan efektif sudah semakin nampak jelas. Semuanya diilhami dari 4 unsur gerakan perkelahian, yaitu memukul, menendang, menangkis/mengelak, dan membanting. Menurutnya, sudah kodrat-Nya gerakan-gerakan fisik tersebut ada pada setiap insan manusia yang mutlak bukan milik dari suatu aliran ilmu beladiri lain.

Kedewasaannya yang ikut terbina dengan baik telah membentuk dirinya untuk selalu berfikir positif, nama perkumpulan beladiri AA Boxer terkesan berbau asing dan juga seakan bertentangan dengan idealisme bangsa Indonesia. Menurutnya, beladiri yang telah diciptakan lahir di bumi Indonesia, karena itu nama perkumpulan beladirinyapun harus berasal dari bahasa Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan keinginannya untuk mendaftarkan olahraga beladiri ini masuk menjadi anggota KONI. Akhirnya berubahlah nama perkumpulan beladirinya menjadi TARUNG DRAJAT. Ini diambil dari kata TARUNG yang artinya perkelahian, perjuangan untuk membela diri, sedangkan kata DRAJAT diambil dari namanya Achmad Drajat. Jadi, arti TARUNG DRAJAT adalah cara berjuang mempertahankan diri ala Achmad Drajat.

Pengetahuan fisik dan batin yang juga ikut dipupuk merasa dirinya seolah berkesan dikultus dari namanya. "Kalau kita memakai nama langsung, kita seolah-olah memiliki suatu hal yang sombong atau takabur, jadi nanti akan ada suatu pengkultusan, kita tidak mau dikultuskan oleh anggota", demikian ujarnya ketika menceritakan perubahan TARUNG DRAJAT menjadi TARUNG DERAJAT. Artinya pun berubah menjadi Berjuang mempertahankan diri untuk mencapai suatu tingkat atau kehormatan, karena DERAJAT itu sendiri mempunyai arti tingkat atau kehormatan.

Hasil usaha dan perjuangan yang sebelumnya tidak pernah disangka akan menjadi seperti ini akhirnya tumbuh dan berkembang. Apalagi setelah masuk menjadi anggota KONI pada tahun 1998. Ditunjang oleh semangat dari murid-muridnya, Keluarga Olahraga Tarung Derajat atau yang lebih dikenal dengan KODRAT telah menyebar di 20 propinsi di Indonesia, dan juga sampai ke negara-negara lain khususnya Asia Tenggara. Beladiri yang diciptakan ini memang murni hanya melatih beladiri secara fisik saja, tidak ada unsur lain. Gerakan teknik beladiri yang praktis dan efektif yang dikembangkan ini tidak pernah secara khusus untuk bisa beladiri dengan senjata. Walaupun demikian diajarkan juga cara untuk menghadapi lawan yang menggunakan senjata. "Apakah dapat dikatakan insan beladiri, jika ada orang yang membawa senjata yang bukan bagian dari tugasnya ?", begitulah prinsipnya, "Sebab insan beladiri adalah orang yang ingin menciptakan hidup tenang dan selamat" , tambahnya lagi.

Beladiri Alamiah

"Tarung Derajat murni hanya mengolah fisik saja !", tegasnya. Diakuinya, memang tidak ada unsur mistik yang digunakan untuk menambah kekuatan. Berlatih fisik secara rutin dengan suatu teknik yang sudah diramu dan disesuaikan dengan teknik beladiri ciptaannya, namun tidak bertujuan untuk membentuk badan seperti atlet binaraga. Berlatih fisik untuk beladiri berarti juga berlatih napas, dan ini terjadi secara alamiah, tidak ada latihan pernapasan secara khusus. Memang dianjurkan kepada para anggotanya untuk selalu menyempatkan diri berlatih fisik dan teknik setiap hari selama 1 sampai 2 jam. Karena menurutnya untuk membentuk fisik menjadi kuat, otot dan daging menjadi pejal memerlukan latihan yang keras, disiplin yang tinggi dan dilakukan terus-menerus, sehingga diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, kekuatan dan percaya diri menjadi meningkat.

Kejadian pada masa perkelahian dahulu telah melahirkan teknik beladiri yang terbentuk secara alamiah. Gerakan tangan, kaki, dan juga anggota tubuh lainnya bersumber dari gerakan-gerakan yang biasa dan alamiah dilakukan oleh setiap orang, namun diasah lagi dengan kemasan teknik beladiri berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang pernah dialaminya. Hingga terbentuklah beladiri Tarung Derajat dengan teknik beladiri yang praktis dan efektif. "Yang namanya praktis adalah tidak neko-neko", tuturnya. Menurutnya lagi, tidak ada latihan untuk menahan napas, atau belajar agar menjadi kuat terhadap air raksa atau juga harus kuat terhadap pukulan besi, "Kalau orang lain bisa, harus kita akui", begitu komentarnya dengan tetap menghargai yang lain.

Setiap anggota Tarung Derajat sudah biasa terdidik secara keras, dengan porsi latihan yang keras, targetnya adalah untuk mencapai dan membentuk anggotanya mempunyai kelembutan hati nurani. Dengan menjadi petarung, perilaku hidup akan menjadi terkendali. "Tidak boleh anggota Tarung Derajat melakukan tindakan yang berlebihan, karena akan mendapat hukuman yang berat", tegasnya ketika mengakhiri pembicaraan.

A7) Sejarah Bela Diri Benjang


SEJARAH SINGKAT DAN PERKEMBANGAN SENI BELADIRI BENJANG

Juli 19, 2007

Ada suatu keistimewaan dalam permainan banjang, disamping mempunyai teknik-teknik kuncian yang mematikan, benjang mempunyai teknik yang unik dan cerdik atau pada keadaan tertentu bisa juga dikatakan licik dalam hal seni beladiri, misalnya dalam teknik mulung yaitu apabila lawan akan dijatuhkan ke bawah, maka ketika posisinya di atas, lawan yang di angkat tadi dengan cepat merubah posisinya dengan cara ngabeulit kaki lawan memancing agar yang menjatuhkan mengikuti arah yang akan dijatuhkan, sehingga yang mengangkat posisinya terbalik menjadi di bawah setelah itu langsung yang diangkat tadi mengunci lawannya sampai tidak berkutik.

Menurut pendapat salah seorang sesepuh benjang yang tinggal di Desa Cibolerang Cinunuk Bandung, bahwa nama benjang sudah di kenal oleh masyarakat sejak tahun 1820, tokoh benjang yang terkenal saat itu, antara lain H. Hayat dan Wiranta. Kemudian ia menjelaskan mengenai asal-usul benjang adalah dari desa Ciwaru Ujungberung, ada juga yang menyebutkan dari Cibolerang Cinunuk, ternyata kedua daerah ini sampai sekarang merupakan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh benjang, mereka berusaha mempertahankan agar benjang tetap ada dan lestari, tokoh benjang saat ini yang masih ada, antara lain Adung, Adang, Ujang Rukman, Nadi, Emun, dan masih ada lagi tokoh yang lainnya yang belum sempat penulis catat.

Seperti kita ketahui bahwa negara kita yang tercinta ini kaya dengan seni budaya daerah. Ini terbukti masing-masing daerah memiliki kesenian tersendiri (khas), seperti benjang adalah salah satu seni budaya tradisional Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Bandung dan ternyata di daerah lainpun ada seni budaya tradisional semacam benjang, seperti di daerah Aceh disebut Gedou – gedou, di daerah Tapanuli (Sumut) disebut Marsurangut, di daerah Rembang disebut Atol, di daerah Jawa Timur disebut Patol, di daerah Banjarmasin disebut Bahempas, di daerah Bugis/Sulsel disebut Sirroto, dan di daerah Jawa Barat disebut Benjang.

Benjang merupakan suatu bentuk permainan tradisional yang tergolong jenis pertunjukan rakyat. Permainan tersebut berkembang (hidup) di sekitar Kecamatan Ujungberung, Cibolerang, dan Cinunuk yang mulanya kesenian ini berasal dari pondok pesantren, yaitu sejenis kesenian tradisional yang bernapaskan keagamaan (Islam), dihubungkan dengan religi, benjang dapat dipakai sebagai media atau alat untuk mendekatkan diri dengan Kholiqnya sebab sebelum pertunjukan, pemain benjang selalu melaksanakan tatacara dengan membaca do’a – do’a agar dalam pertunjukan benjang tersebut selamat tidak ada gangguan. Adapun alat yang digunakan dalam benjang terdiri dari Terbang, Gendang (kendang), Pingprung, Kempring, Kempul, Kecrek, Terompet (Tarompet), dan dilengkapi pula dengan bedug dan lagu sunda.

Dari pondok pesantren, kesenian ini menyebar ke masyarakat biasanya di masyarakat diselenggarakan dalam rangka memperingati upacara 40 hari kelahiran bayi, syukuran panen padi, maulid nabi, upacara khitanan, perkawinan, dan hiburan lainnya, dan dapat pula mengiringi gerak untuk dipertontonkan yang disebut “DOGONG”.

Dogong adalah suatu permainan saling mendorong dengan mempergunakan alu (kayu alat penumbuk padi). Dari Dogong berkembang menjadi “SEREDAN” yang mempunyai arti permainan saling mendesak tanpa alat, yang kalah dikeluarkan dari arena (lapangan); kemudian dari Seredan berubah menjadi adu mundur, ini masih saling mendesak untuk mendesak lawan dari dalam arena permainan tanpa alat, memdorong lawan dengan pundak, tidak diperkenankan menggunakan tangan, karena dalam permainan ini pelanggaran sering terjadi terutama bila pemain hampir terdesak keluar arena. Dengan seringnya pelanggaran dilakukan maka permainan adu mundur digantikan oleh permainan adu munding.

Permainan benjang sebenarnya merupakan perkembangan dari adu munding atau adu kerbau yang lebih mengarah kepada permainan gulat dengan gerakan menghimpit lawan (piting). Sedangkan pada adu munding tidak menyerat – menyerat lawan keluar arena melainkan mendorong dengan cara membungkuk (merangkak) mendesak lawan dengan kepalanya seperti munding (kerbau) bertarung. Namun gerakan adu mundur, maupun adu munding tetap menjadi gaya seseorang dalam permainan benjang. Permainan adu munding dengan menggunakan kepala untuk mendesak lawan, dirasakan sangat berbahaya, sekarang gaya itu jarang dipakai dalam pertunjukan benjang. Peserta permainan benjang sampai saat ini baru dimainkan oleh kaum laki-laki terutama remaja (bujangan), tetapi bagi orang yang berusia lanjutpun diperbolehkan asal mempunyai keberanian dan hobi.

Apabila kita membandingkan perkembangan benjang zaman dahulu dengan sekarang pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang begitu mencolok, hanya pertandingan benjang zaman dahulu, apabila pemain benjang masuk ke dalam arena biasanya suka menampilkan ibingan dengan mengenakan kain sarung sambil diiringi musik tradisional yang khas, kemudian setelah berhadapan dengan musuh mereka membuka kain sarung masing-masing, berikut pakaian yang ia pakai di atas panggung, yang tersisa hanya celana pendek saja menandakan dirinya bersih, tidak membawa suatu alat (sportif). Setelah itu, penabuh alat-alat musik benjang dengan penuh semangat membunyikan tabuhannya dengan irama Bamplang (semacam padungdung dalam irama pencak silat), maka setelah mendengar musik dimulailah pertandingan benjang, dalam pertandingan ini karena tidak ada wasit mungkin saja di antara pemain ada yang licik atau curang sehingga bisa mengakibatkan lawannya cidera. Apabila ada seorang pemain benjang posisinya sudah berada di bawah pertandingan seharusnya diberhentikan karena lawannya sudah menyerah.

Namun, karena tidak ada yang memimpin pertandingan (wasit) akhirnya lawan dikunci sampai tidak bisa mengacungkan tangan yang berarti lawannya bermain curang, apabila pemain benjang yang curang itu ketahuan oleh pihak yang merasa dirugikan akan menimbulkan keributan (ricuh) terutama dari penonton, tetapi apabila pemain benjang itu bertanding dengan bersih dan sportif maka pihak yang kalah akan menerimanya walaupun mengalami cidera, sebab sebelumnya sudah mengetahui peraturan pertandingan benjang apabila salah seorang mengalami cidera tidak akan ada tuntutan. Seorang pemain benjang dinyatakan kalah setelah berada di bawah dalam posisi terlentang, melihat tanda seperti itu wasit langsung memberhentikan pertandingan dan lawan yang terlentang tadi dinyatakan kalah (sekarang). Pertandingan benjang seperti zaman dahulu sudah tidak dilakukan lagi, sebab sekarang sudah ada wasit yang memimpin pertandingan, dan dilaksanakan di atas panggung yang memakai alas semacam matras sehingga tidak begitu membahayakan pemain benjang (tukang benjang).

Sedangkan mengenai teknik dan teori benjang dari zaman dahulu sampai sekarang tetap sama tidak berubah, teknik dan teori benjang yang biasa dilaksanakan oleh tukang benjang, antara lain :

1. Nyentok (hentak) kepala

2. Ngabeulit

a. Beulit Gigir,

b. Beulit Hareup,

c. Beulit Bakung,

3. Dobelson

4. Engkel Mati

5. Angkat

6. Dengkekan

7. Hapsay(ngagebot), dan lain-lain

Dalam pertunjukan benjang di masyarakat, jumlah anggota kelompok pemain benjang berkisar antara 20 sampai 25 orang yang terdiri dari satu orang pemimpin benjang, 9 orang penabuh, dan sisanya sebagai pemain. Inti dalam grup benjang ini 15 orang yang tediri atas 9 orang penabuh, 1 pemimpin, 4 pemain, dan 1 wasit.

Walaupun benjang dikatakan sepi tetapi ada beberapa orang pemain benjang yang mencoba terjun ke dunia olahraga gulat dan mereka berhasil menjadi juara, di antaranya:

1. Adang Hakim, tahun 1967 – 1988 asal Desa Cinunuk

2. Abdul Gani, tahun 1969 – 1970 asal Desa Ciporeat

3. Emun, tahun 1974 – 1977 asal Desa Cinunuk

4. Ii, tahun 1978 – 1979 asal Desa Cinunuk

5. Taufik Ramdani 1979 – 1988 asal Desa Cinunuk

6. Asep Burhanudin tahun 2000 asal Desa Cinunuk

7. Tohidin, tahun 2000 asal Desa Cinunuk kategori anak-anak

Ada pengalaman menarik dari Adang Hakim, bahwa ia pernah dikeroyok oleh beberapa orang pemuda yang tidak dikenal, tiba-tiba mereka menyerang mempergunakan pukulan dan tendangan, Adang Hakim dengan tenang dan penuh percaya diri mampu menyelamatkan diri dengan mempergunakan teknik bantingan, sehingga pemuda tadi tidak berkutik dan yang lainnya melarikan diri takut dibanting seperti temannya. Teknik benjang yang selama ini ia geluti, ternyata bisa digunakan untuk membeladiri di alam terbuka, bukan hanya di arena pertandingan saja. Oleh kerena itu seorang pemain benjang harus selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diri kita selamat dimanapun berada dan selain itu pemain benjang harus selalu ingat pada motto benjang yaitu “jangan sombong dengan kemenangan, dan jangan sedih apabila mengalami kekalahan”.

Benjang dan Gulat

Penulis sangat tertarik sekali melihat teknik-teknik beladiri benjang yang hampir sama dengan gulat, tetapi sebenarnya antara gulat dengan benjang masing-masing mempunyai persamaan dan perbedaan, dalam gulat waktu